Acara : Bincang Buku Happiness Inside
Tema : "Makna Kebahagiaan dalam Kehidupan"
Hari / Tanggal : Kamis / 3 April 2014
Waktu : 18.30 WIB
Pembicara : Gobind Vashdev
Audiens : Umum
Persembahan Goodreads Indonesia reg. Surabaya
Berkali-kali saya menatap buku biru itu. Sederhana saya mengingat, buku biru dengan sebuah kepala berisi bunga-bunga. Judulnya Happiness Inside. Saya belum lelah juga meliriknya berkali-kali setiap kali melalui rak toko buku. Tapi lirikan itu belum berujung pada pembelian juga, karena berbagai alasan. Hingga suatu siang tahun lalu, di teras rumah, saya dan mbak Novri Chitra, korwil GRI Sby saat itu, berbincang tentang apa saja. Tiba-tiba perbincangan kami bermuara pada Gobind Vashdev. Nama asing buat saya yang kurang gaul ini. Namun mbak Novri, yang telah mengenal sebelumnya, dengan sabar menjelaskan. Siapa ia dan buku Happiness Inside yang ia tulis. Saya tertarik. Ujung-ujungnya, kami berangan suatu saat akan mengundang beliau untuk acara GRI Sby.
Fragmen angan itu terwujud beberapa hari lalu. Setelah beberapa waktu tak lagi mengikuti timeline twitter, saya iseng kembali menyusur kicauan orang-orang. Satu kicauan langsung menggerakkan saya untuk 'merayu' mbak Novri agar bersedia direpotkan. Gobind Vashdev menyebutkan jadwal akan mengunjungi Surabaya di akhir pekan di awal bulan ini (April 2014). Mbak Novri langsung mengiyakan, sementara saya baru sadar bahwa saat itu sudah kurang dari tujuh hari ke depan. Singkatnya, semuanya serba terburu-buru dan tanpa rencana. Kami sempat pesimis, dan tak berharap akan banyak audiens yang datang. Selain karena bukan di akhir pekan atau hari libur, acara juga berlangsung di malam hari. Namun puji syukur, semuanya bisa berjalan dengan baik. Untuk semua kerepotan dan keterburu-buruan yang sudah saya timbulkan, izinkan saya mengucap banyak terima kasih untuk teman-teman GRI Sby yang sudah sudi membantu di tengah kesibukan masing-masing : Mbak Novri Chitra, Tante Henny Ces, Ghozi Septiandri, Mas David Sentika, dan semua teman-teman lainnya. Juga untuk teman-teman Klub Buku Surabaya, untuk persaudaraan dan kesediaannya beramai-ramai hadir, serta untuk beberapa kawan dari Sekolah Awan.
Acara dimulai pukul 18.30. Sekitar pukul 18.00, dibantu oleh teman-teman pustakawan perpustakaan kota Balai Pemuda, setting lokasi acara sudah bisa diselesaikan. Beberapa menit kemudian, seorang wanita cantik dengan putra kecil di pelukannya memasuki perpustakaan dan membagi senyumnya. Kemudian mengikutinya, dengan tenang, seorang pria dengan kemeja putih dan jeans cokelat memasuki perpustakaan. Saya menyapanya. Ialah Gobind Vashdev. Saya terkesan dengan awal perkenalan kami, ketika saya mengucapkan terima kasih untuk kesediaannya hadir, ia menjawab dengan senyum dan telapak tangan yang disentuhkan ke dadanya. Itu cukup menjelaskan bahwa ia hadir dengan ketulusan ingin berbagi. Di tengah obrolan-obrolan ringan kami, ia mengenalkan saya pada seorang wanita cantik dan putra kecil dengan rambut mengombak yang saya lihat tadi sebagai istri dan putra pertamanya, Mbak Tika dan Rigpa. Rigpa nampak lincah berlarian ke sana ke mari, menjelajah perpustakaan. Sementara itu, saya mengobrol ringan dengan Mas Gobind. Saya sempat tidak enak hati, karena sepertinya ia yang lebih banyak mendengar racauan saya. :) Di tengah itu, saya juga menanyakan apa yang menjadi kesibukannya akhir-akhir ini. Ia berkisah bahwa saat ini, ia sekeluarga bersifat nomaden. Keliling Indonesia, dari satu tempat ke tempat lain, untuk berbagi ilmu. Dan hebatnya, 80% dari keseluruhan acaranya adalah bersifat sosial. Seperti berbagi di Rumah Sakit dan Panti Jompo. Kemudian, sembari mengobrol, Mas Gobind menanyakan kapan hari ulang tahun saya dan membukakan Kalender Abadi miliknya. Kalender itu disusun oleh Gobind Vashdev sendiri, dengan masing-masing hari pada kalender tersebut tertulis pesan-pesan bijak yang berbeda. Ternyata, di hari ulang tahun saya tertera gambar three wise monkeys, dan tertulis "Oh Tuhan ambillah semua fasilitas menghakimi dari pikiranku, biarkan diriku menjadi "buta dan tuli" sehingga aku bisa melihat dan mendengar segalanya sempurna, seperti Engkau melihat setiap ciptaan-Mu" Dan itu mengena untuk saya. Mas Gobind menjelaskan, kita masih sering menciptakan pemaknaan sendiri. Ada persepi-persepsi dalam kepala kita yang cenderung membuat kita memandang sesuatu tidak dengan netral. Oleh karena itu, ada harapan untuk menatap segalanya dengan 'tanpa apa-apa', sama seperti halnya anak-anak memandang dunia. Saya terdiam. Mungkin serasa ditertawakan Mizaru, Kikazaru dan Iwazaru, tiga monyet bijak itu.
Beberapa saat setelah itu audiens mulai berdatangan, namun hanya beberapa. Enggan membiarkan suasana menjadi canggung, Gobind justru mengajak mereka mengobrol dan menghibur mereka dengan berbagai candaan ringan. Misalnya saja tentang pengalaman menarik tentang dirinya yang tak beralas kaki ke mana-mana. Atau justru pengalamannya dalam membantu proses kelahiran si kecil Rigpa di rumah sendiri. Tanpa perlu menunggu lama, acara dimulai. Berbeda ketika bicara secara pribadi, di depan audiens, Gobind Vashdev justru sangat santai dan menghibur. Audiens bisa menertawakan berbagai anekdot, meski tema kami "Makna Kebahagiaan dalam Kehidupan". Awalnya, Gobind berkisah tentang bukunya, Happiness Inside yang telah memasuki cetakan ke-13 saat ini, dan misinya untuk menanam satu pohon dari setiap cetakan yang terjual sebagai bentuk cintanya pada alam. Ia pun bercerita tentang bagaimana awal mula ia memulai untuk menulis. Sesungguhnya seorang Gobind sempat merasa tidak percaya dirinya mampu menulis dan menerbitkan buku. Baginya, buku Happiness Inside adalah sebentuk paksaan dari semesta untuknya. Saat melakukan healing program di Bantul selama satu bulan, seorang wartawan menanyakan pada Gobind tentang apa yang ia lihat dari bencana di tempat itu. Gobind menjawab, "Ada keindahan dalam bencana ini" Merasa tak puas dengan jawaban dari seorang Gobind, sang wartawan kesal dan memintanya untuk menulis sendiri tentang bencana tersebut, kemudian dikirimkan melalui email. Diakui Gobind, waktu tenggat tujuh hari itu menjadi waktu 'yang menyiksa'. Hasilnya, ketika tulisan tersebut terbit di majalah, tak banyak proses editing yang diberikan. Justru ia mendapat banyak respons positif dari pembaca. Semenjak itu, setiap bulan Gobind "diteror" untuk mengirimkan tulisan. Sampai akhirnya seorang teman memintanya untuk mengisi sebuah acara di radio. Merasa tertarik dengan yang Gobind bicarakan, sebuah penerbit menelepon dan meminta untuk menerbitkan tulisan-tulisannya. Sampai akhirnya buku Happiness Inside terbit dan mengikuti alirnya. Gobind pun mengungkap salah satu pemikiran menariknya. Ia berkisah bahwa ia tak pernah memiliki kartu nama, proposal, atau melakukan bentuk marketing apapun untuk 'menawarkan dirinya'. Ia menyerahkan pada semesta, dan mengatakan "Gunakan saya, semesta"
Berpindah pada proses kreatifnya dalam menulis Happiness Inside, banyak kejadian menarik. Berangkat dari membaca fenomena bunuh diri dari surat kabar, lahirlah tulisan "Bunuh Diri Menular". Bunuh Diri Menular menunjukkan bahwa budaya tren mampu mempengaruhi banyak orang untuk melakukan hal yang sama. Alam bawah sadar kita menyerap dari berbagai berita di media, dan akhirnya dilakukan dalam tindakan. Jadi, bukannya tidak mungkin ketika perilaku bunuh diri bersifat menular.
Gobind menjelaskan seringkali kita salah menyikapi masalah. Ketika ada suatu kejadian, jangan bertanya maknanya. Justru dunia yang akan bertanya, bagaimana kita memberi makna. Buruk dan baik sangat dikendalikan oleh persepsi. Untuk apapun yang terjadi, tetap bersyukur. Pada setiap kejadian, tidak ada positif dan negatif. Kejadian selalu bersifat netral. Positif dan negatif tergantung dari kepentingan kita. Ia memberi contoh dengan kisah tentang meludah. Tentu akan berbeda ketika kita diludahi oleh orang dewasa dan seorang bayi. Dari hal itu kita bisa belajar, bahwa masalahnya bukan dari situasi atau dari luar. Namun masalahnya adalah bagaimana meletakkan makna pada suatu hal. Manusia tidak pernah bermasalah dengan ego, kesombongan, dsb. Namun kacamata kita yang seringkali kotor, dan memandang segala sesuatu dengan negatif. Jika mendapat masalah, jangan cari jalan keluar, karena masalahnya ada di dalam diri sendiri. Gobind mencontohkan seperti yang ada di dalam buku Happiness Inside. Tentang dirinya yang tengah menyetir di tengah arus lalu lintas Jakarta. Di sela waktu menunggu traffic light berubah warna, ia membaca buku. Bagaimana ia tak terkejut ketika kendaraan di antrian di belakangnya membunyikan klakson, pertanda lampu telah berganti hijau, saatnya untuk kembali melajukan kendaraan. Awalnya, sama seperti pada umumnya, ia tak mampu menahan amarah. Namun kemudian ia menyadari bahwa justru itu adalah kesalahannya sendiri, telah menghilangkan kebahagiaan dari dirinya sendiri. Belajar dari itu, ia memberi makna baru pada klakson berikutnya. Bukan "lambat atau bodoh" namun bentuk sapaan dari seorang kawan. Segalanya bergantung dari program yang ada di dalam diri kita. Semua di dunia ini tergantung dari makna yang kita berikan.
Merasa tertarik dengan berbagai pernyataan Gobind, audiens mulai mengajukan pertanyaan. Misalnya saja, seorang penanya yang menanyakan tentang seorang rekannya yang kesulitan memberikan alternatif makna dalam kehidupan. Tak menjawab secara langsung, Gobind justru berkata sebelum membantu orang lain, bantu diri sendiri terlebih dahulu. Ada juga yang perlu diwasapadai adalah ketika kita sampai pada paradigma menyalahkan orang lain dan membenarkan diri sendiri. Semestinya kita bijak dengan tak menyalahkan, namun memahami. Kita membenci, karena kita belum memahami. Ketika kita belum memahami, kita tidak akan mungkin mengubah. Sebelum mengubah, kita mesti netral memandang. Karena mengerti, cinta itu muncul. Pahami tanpa menyalahkan. Jangan fear based, namun love based. Gobind mencontohkan Socrates yang tidak mengubah orang lain dengan cara mempengaruhinya, namun dengan bertanya kepadanya. Untuk mengubah orang lain, kita bertanya, agar dia mampu mengubah dirinya sendiri.
Pertanyaan berikutnya tentang bagaimana Gobind berproses menemukan kebahagiaan. Ia berkisah bahwa setiap orang bertumbuh. Menggunakan prinsip Awareness Before Change, harus adanya kesadaran internal sebelum berubah. Selftalk akan membawa kita pada kesadaran. Gunakan emosi yang netral. Bagi Gobind, setiap orang mengejar kebahagiaan sesuai dengan kesadarannya. Salah satu penghalang kebahagiaan adalah goresan. Kita terluka atau tergores karena hati kita tidak cukup besar untuk menampung masalah. Selain itu, kita selalu berpikir harus ada yang disalahkan dalam setiap masalah sebagai pengalih perhatian dari rasa sakit yang kita alami. Kebanyakan kita berpikir kebahagiaan adalah tercapainya keinginan atau terpenuhinya hasrat. Itu terus berujung pada kita yang selalu mencari target baru, menjadikan lelah dan tak ada habisnya.
"Bagaimana jika kita tidak bahagia karena trauma masa lalu?" itu yang terucap dari salah seorang penanya yang lain. Gobind menjawab bahwa waktu tidak pernah menyembuhkan. Yang menyembuhkan seseorang adalah kesadaran. Kesadarannya bahwa sesuatu sempurna atas izinNya. Ia mengatakan, meletakkan makna baik di setiap kejadian pernah menjadi hal yang tidak mudah juga untuk Gobind. Suatu saat di masa kanak-kanaknya, ia pernah nyaris tenggelam di suatu kolam. Saat itu, sang ayah menarik tubuhnya dan menempeleng kepalanya. Awalnya ia merasa kesal. Bagaimana mungkin seorang anak yang akan tenggelam justru dihadiahi sebuah hukuman fisik? Makna positif kejadian itu baru ia dapatkan ketika dewasa. Suatu adegan di dalam film dan buku membawanya kembali mengingat peristiwa itu. Rasa sakit akibat ditampar serasa kembali terulang. Ia berpikir bahwa pada saat itu, sang ayah mungkin menempeleng untuk mengembalikan kesadarannya. Ia kemudian justru berterimakasih untuk yang telah terjadi. Ia menyimpulkan, ketika merasa disakiti orang lain, bereskan apa yang ada di dalam diri kita.
Pertanyaan selanjutnya tentang apa parameter yang dimiliki seseorang agar mampu melihat suatu hal dari banyak sisi. Dengan sungguh-sunggguh Gobind menjelaskan bahwa pertama, ada keinginan untuk mengubah diri. Kemudian bicaralah pada diri sendiri. Netralkan, jaga emosi.
Meski waktu perpustakaan nyaris tutup, Gobind berkeras untuk menunjukkan aksinya dengan menanyakan apa di antara audiens yang memiliki tissu. Sang pemilik tissu sekaligus dipanggil ke depan dan dipersilakan duduk menghadap audiens yang lain. Gobind memberikan catatan pada penonton agar tak bersuara dan mengatakan apapun pada sang relawan selama ia melakukan aksinya. Ia bentuk tissu ke dalam bulatan, kemudian ia genggam di salah satu tangan kanan atau kiri. Sembari berusaha mengecoh sang relawan, ia memindah-mindahkan tempat di mana gulungan tissu itu berada. Entah di genggaman tangan kanan atau kiri. Sang relawan terus saja salah menyebut tempat yang tepat. Seringkali tissu itu tak berada di kedua genggaman Gobind. Penonton tertawa, karena mengetahui bahwa gulungan tissu itu diam-diam dilemparkan Gobind ke belakang, di mana sang relawan tak mampu melihatnya. Meski sesungguhnya, makna yang ingin diambil adalah ketika masalah menghampiri, kita seringkali fokus pada hal-hal yang di luar, tanpa ingin menengok ke dalam diri sendiri. Oleh karena itu, ada baiknya kita mundur ke belakang, mencari jalan ke dalam diri dengan meditasi, kontemplasi, merenung atau berpikir. Kita jadi memiliki waktu untuk masuk ke dalam diri dan menelaah segalanya dari dalam. Bahkan Gobind menyarankan, setiap hari kita harus memiliki waktu untuk merenung dan berkumpul dengan orang-orang yang positif. Ketakutan, kegelisahan, kecemasan, dsb adalah sumbatan diri kita untuk mendapatkan kebahagiaan. Pemikiran kita terhadap masa lalu dan masa depan juga seringkali membuat kita tak bahagia di detik ini. Maka, hadirlah di detik ini untuk bahagia.
Meski seringkali mengutip berbagai pemikiran dari Rumi, Gibran, bahkan kisah hidup Oprah, Gobind berbicara di depan audiens dengan gaya yang santai, bahkan seringkali kocak. Itu membuat acara menjadi cair. Pribadinya yang tenang dan menyenangkan membuat nyaman. Agak lebih dari waktu yang seharusnya, audiens antusias untuk berfoto dan book signing. Saya secara pribadi, kagum dengan apa yang mas Gobind lakukan. Datang bahkan sebelum audiens hadir, dan pulang ketika audiens sudah beranjak. Bahkan di akhir pertemuan, beberapa dari member GRI Sby masih sempat menyaksikan Gobind dan mbak Tika mengajak si kecil Rigpa menari-nari kecil. Kehangatan sang pembicara mungkin juga akan membawa pengertian-pengertian baru pada audiens ketika pulang. Tentang pemikiran baru, tentang pemaknaan baru terhadap kebahagiaan. Bisa jadi seperti yang Gobind Vashdev, sang heartworker katakan :
Kebahagiaan bergantung pada bagaimana kita memaknai kehidupan.
Surabaya, 6 April 2014
Untuk Goodreads Indonesia,
Nabila Budayana