07/04/14

LPM Bincang Buku Happiness Inside - Gobind Vashdev

    Acara : Bincang Buku Happiness Inside

    Tema : "Makna Kebahagiaan dalam Kehidupan"
    Hari / Tanggal : Kamis / 3 April 2014
    Waktu : 18.30 WIB
    Pembicara : Gobind Vashdev
    Audiens : Umum
    Persembahan Goodreads Indonesia reg. Surabaya

    Berkali-kali saya menatap buku biru itu. Sederhana saya mengingat, buku biru dengan sebuah kepala berisi bunga-bunga. Judulnya Happiness Inside. Saya belum lelah juga meliriknya berkali-kali setiap kali melalui rak toko buku. Tapi lirikan itu belum berujung pada pembelian juga, karena berbagai alasan. Hingga suatu siang tahun lalu, di teras rumah, saya dan mbak Novri Chitra, korwil GRI Sby saat itu, berbincang tentang apa saja. Tiba-tiba perbincangan kami bermuara pada Gobind Vashdev. Nama asing buat saya yang kurang gaul ini. Namun mbak Novri, yang telah mengenal sebelumnya, dengan sabar menjelaskan. Siapa ia dan buku Happiness Inside yang ia tulis. Saya tertarik. Ujung-ujungnya, kami berangan suatu saat akan mengundang beliau untuk acara GRI Sby.

    Fragmen angan itu terwujud beberapa hari lalu. Setelah beberapa waktu tak lagi mengikuti timeline twitter, saya iseng kembali menyusur kicauan orang-orang. Satu kicauan langsung menggerakkan saya untuk 'merayu' mbak Novri agar bersedia direpotkan. Gobind Vashdev menyebutkan jadwal akan mengunjungi Surabaya di akhir pekan di awal bulan ini (April 2014). Mbak Novri langsung mengiyakan, sementara saya baru sadar bahwa saat itu sudah kurang dari tujuh hari ke depan. Singkatnya, semuanya serba terburu-buru dan tanpa rencana. Kami sempat pesimis, dan tak berharap akan banyak audiens yang datang. Selain karena bukan di akhir pekan atau hari libur, acara juga berlangsung di malam hari. Namun puji syukur, semuanya bisa berjalan dengan baik. Untuk semua kerepotan dan keterburu-buruan yang sudah saya timbulkan, izinkan saya mengucap banyak terima kasih untuk teman-teman GRI Sby yang sudah sudi membantu di tengah kesibukan masing-masing : Mbak Novri Chitra, Tante Henny Ces, Ghozi Septiandri, Mas David Sentika, dan semua teman-teman lainnya. Juga untuk teman-teman Klub Buku Surabaya, untuk persaudaraan dan kesediaannya beramai-ramai hadir, serta untuk beberapa kawan dari Sekolah Awan.    

    Acara dimulai pukul 18.30. Sekitar pukul 18.00, dibantu oleh teman-teman pustakawan perpustakaan kota Balai Pemuda, setting lokasi acara sudah bisa diselesaikan. Beberapa menit kemudian, seorang wanita cantik dengan putra kecil di pelukannya memasuki perpustakaan dan membagi senyumnya. Kemudian mengikutinya, dengan tenang, seorang pria dengan kemeja putih dan jeans cokelat memasuki perpustakaan. Saya menyapanya. Ialah Gobind Vashdev. Saya terkesan dengan awal perkenalan kami, ketika saya mengucapkan terima kasih untuk kesediaannya hadir, ia menjawab dengan senyum dan telapak tangan yang disentuhkan ke dadanya. Itu cukup menjelaskan bahwa ia hadir dengan ketulusan ingin berbagi. Di tengah obrolan-obrolan ringan kami, ia mengenalkan saya pada seorang wanita cantik dan putra kecil dengan rambut mengombak yang saya lihat tadi sebagai istri dan putra pertamanya, Mbak Tika dan Rigpa. Rigpa nampak lincah berlarian ke sana ke mari, menjelajah perpustakaan. Sementara itu, saya mengobrol ringan dengan Mas Gobind. Saya sempat tidak enak hati, karena sepertinya ia yang lebih banyak mendengar racauan saya. :) Di tengah itu, saya juga menanyakan apa yang menjadi kesibukannya akhir-akhir ini. Ia berkisah bahwa saat ini, ia sekeluarga bersifat nomaden. Keliling Indonesia, dari satu tempat ke tempat lain, untuk berbagi ilmu. Dan hebatnya, 80% dari keseluruhan acaranya adalah bersifat sosial. Seperti berbagi di Rumah Sakit dan Panti Jompo. Kemudian, sembari mengobrol, Mas Gobind menanyakan kapan hari ulang tahun saya dan membukakan Kalender Abadi miliknya. Kalender itu disusun oleh Gobind Vashdev sendiri, dengan masing-masing hari pada kalender tersebut tertulis pesan-pesan bijak yang berbeda. Ternyata, di hari ulang tahun saya tertera gambar three wise monkeys, dan tertulis "Oh Tuhan ambillah semua fasilitas menghakimi dari pikiranku, biarkan diriku menjadi "buta dan tuli" sehingga aku bisa melihat dan mendengar segalanya sempurna, seperti Engkau melihat setiap ciptaan-Mu" Dan itu mengena untuk saya. Mas Gobind menjelaskan, kita masih sering menciptakan pemaknaan sendiri. Ada persepi-persepsi dalam kepala kita yang cenderung membuat kita memandang sesuatu tidak dengan netral. Oleh karena itu, ada harapan untuk menatap segalanya dengan 'tanpa apa-apa', sama seperti halnya anak-anak memandang dunia. Saya terdiam. Mungkin serasa ditertawakan Mizaru, Kikazaru dan Iwazaru, tiga monyet bijak itu.
    
    Beberapa saat setelah itu audiens mulai berdatangan, namun hanya beberapa. Enggan membiarkan suasana menjadi canggung, Gobind justru mengajak mereka mengobrol dan menghibur mereka dengan berbagai candaan ringan. Misalnya saja tentang pengalaman menarik tentang dirinya yang tak beralas kaki ke mana-mana. Atau justru pengalamannya dalam membantu proses kelahiran si kecil Rigpa di rumah sendiri. Tanpa perlu menunggu lama, acara dimulai. Berbeda ketika bicara secara pribadi, di depan audiens, Gobind Vashdev justru sangat santai dan menghibur. Audiens bisa menertawakan berbagai anekdot, meski tema kami "Makna Kebahagiaan dalam Kehidupan". Awalnya, Gobind berkisah tentang bukunya, Happiness Inside yang telah memasuki cetakan ke-13 saat ini, dan misinya untuk menanam satu pohon dari setiap cetakan yang terjual sebagai bentuk cintanya pada alam. Ia pun bercerita tentang bagaimana awal mula ia memulai untuk menulis. Sesungguhnya seorang Gobind sempat merasa tidak percaya dirinya mampu menulis dan menerbitkan buku. Baginya, buku Happiness Inside adalah sebentuk paksaan dari semesta untuknya. Saat melakukan healing program di Bantul selama satu bulan, seorang wartawan menanyakan pada Gobind tentang apa yang ia lihat dari bencana di tempat itu. Gobind menjawab, "Ada keindahan dalam bencana ini" Merasa tak puas dengan jawaban dari seorang Gobind, sang wartawan kesal dan memintanya untuk menulis sendiri tentang bencana tersebut, kemudian dikirimkan melalui email. Diakui Gobind, waktu tenggat tujuh hari itu menjadi waktu 'yang menyiksa'. Hasilnya, ketika tulisan tersebut terbit di majalah, tak banyak proses editing yang diberikan. Justru ia mendapat banyak respons positif dari pembaca. Semenjak itu, setiap bulan Gobind "diteror" untuk mengirimkan tulisan. Sampai akhirnya seorang teman memintanya untuk mengisi sebuah acara di radio. Merasa tertarik dengan yang Gobind bicarakan, sebuah penerbit menelepon dan meminta untuk menerbitkan tulisan-tulisannya. Sampai akhirnya buku Happiness Inside terbit dan mengikuti alirnya. Gobind pun mengungkap salah satu pemikiran menariknya. Ia berkisah bahwa ia tak pernah memiliki kartu nama, proposal, atau melakukan bentuk marketing apapun untuk 'menawarkan dirinya'. Ia menyerahkan pada semesta, dan mengatakan "Gunakan saya, semesta"  
    
    Berpindah pada proses kreatifnya dalam menulis Happiness Inside, banyak kejadian menarik. Berangkat dari membaca fenomena bunuh diri dari surat kabar, lahirlah tulisan "Bunuh Diri Menular". Bunuh Diri Menular menunjukkan bahwa budaya tren mampu mempengaruhi banyak orang untuk melakukan hal yang sama. Alam bawah sadar kita menyerap dari berbagai berita di media, dan akhirnya dilakukan dalam tindakan. Jadi, bukannya tidak mungkin ketika perilaku bunuh diri bersifat menular.  
  
    Gobind menjelaskan seringkali kita salah menyikapi masalah. Ketika ada suatu kejadian, jangan  bertanya maknanya. Justru dunia yang akan bertanya, bagaimana kita memberi makna. Buruk dan baik sangat dikendalikan oleh persepsi. Untuk apapun yang terjadi, tetap bersyukur. Pada setiap kejadian, tidak ada positif dan negatif. Kejadian selalu bersifat netral. Positif dan negatif tergantung dari kepentingan kita. Ia memberi contoh dengan kisah tentang meludah. Tentu akan berbeda ketika kita diludahi oleh orang dewasa dan seorang bayi. Dari hal itu kita bisa belajar, bahwa masalahnya bukan dari situasi atau dari luar. Namun masalahnya adalah bagaimana meletakkan makna pada suatu hal. Manusia tidak pernah bermasalah dengan ego, kesombongan, dsb. Namun kacamata kita yang seringkali kotor, dan memandang segala sesuatu dengan negatif. Jika mendapat masalah, jangan cari jalan keluar, karena masalahnya ada di dalam diri sendiri. Gobind mencontohkan seperti yang ada di dalam buku Happiness Inside. Tentang dirinya yang tengah menyetir di tengah arus lalu lintas Jakarta. Di sela waktu menunggu traffic light berubah warna, ia membaca buku. Bagaimana ia tak terkejut ketika kendaraan di antrian di belakangnya membunyikan klakson, pertanda lampu telah berganti hijau, saatnya untuk kembali melajukan kendaraan. Awalnya, sama seperti pada umumnya, ia tak mampu menahan amarah. Namun kemudian ia menyadari bahwa justru itu adalah kesalahannya sendiri, telah menghilangkan kebahagiaan dari dirinya sendiri. Belajar dari itu, ia memberi makna baru pada klakson berikutnya. Bukan "lambat atau bodoh" namun bentuk sapaan dari seorang kawan. Segalanya bergantung dari program yang ada di dalam diri kita. Semua di dunia ini tergantung dari makna yang kita berikan.
    
    Merasa tertarik dengan berbagai pernyataan Gobind, audiens mulai mengajukan pertanyaan. Misalnya saja, seorang penanya yang menanyakan tentang seorang rekannya yang kesulitan memberikan alternatif makna dalam kehidupan. Tak menjawab secara langsung, Gobind justru berkata sebelum membantu orang lain, bantu diri sendiri terlebih dahulu. Ada juga yang perlu diwasapadai adalah ketika kita sampai pada paradigma menyalahkan orang lain dan membenarkan diri sendiri. Semestinya kita bijak dengan tak menyalahkan, namun memahami. Kita membenci, karena kita belum memahami. Ketika kita belum memahami, kita tidak akan mungkin mengubah. Sebelum mengubah, kita mesti netral memandang. Karena mengerti, cinta itu muncul. Pahami tanpa menyalahkan. Jangan fear based, namun love based. Gobind mencontohkan Socrates yang tidak mengubah orang lain dengan cara mempengaruhinya, namun dengan bertanya kepadanya. Untuk mengubah orang lain, kita bertanya, agar dia mampu mengubah dirinya sendiri.
    
    Pertanyaan berikutnya tentang bagaimana Gobind berproses menemukan kebahagiaan. Ia berkisah bahwa setiap orang bertumbuh. Menggunakan prinsip Awareness Before Change, harus adanya kesadaran internal sebelum berubah. Selftalk akan membawa kita pada kesadaran. Gunakan emosi yang netral. Bagi Gobind, setiap orang mengejar kebahagiaan sesuai dengan kesadarannya. Salah satu penghalang kebahagiaan adalah goresan. Kita terluka atau tergores karena hati kita tidak cukup besar untuk menampung masalah. Selain itu, kita selalu berpikir harus ada yang disalahkan dalam setiap masalah sebagai pengalih perhatian dari rasa sakit yang kita alami. Kebanyakan kita berpikir kebahagiaan adalah tercapainya keinginan atau terpenuhinya hasrat. Itu terus berujung pada kita yang selalu mencari target baru, menjadikan lelah dan tak ada habisnya.

    "Bagaimana jika kita tidak bahagia karena trauma masa lalu?" itu yang terucap dari salah seorang penanya yang lain. Gobind menjawab bahwa waktu tidak pernah menyembuhkan. Yang menyembuhkan seseorang adalah kesadaran. Kesadarannya bahwa sesuatu sempurna atas izinNya. Ia mengatakan, meletakkan makna baik di setiap kejadian pernah menjadi hal yang tidak mudah juga untuk Gobind. Suatu saat di masa kanak-kanaknya, ia pernah nyaris tenggelam di suatu kolam. Saat itu, sang ayah menarik tubuhnya dan menempeleng kepalanya. Awalnya ia merasa kesal. Bagaimana mungkin seorang anak yang akan tenggelam justru dihadiahi sebuah hukuman fisik? Makna positif kejadian itu baru ia dapatkan ketika dewasa. Suatu adegan di dalam film dan buku membawanya kembali mengingat peristiwa itu. Rasa sakit akibat ditampar serasa kembali terulang. Ia berpikir bahwa pada saat itu, sang ayah mungkin menempeleng untuk mengembalikan kesadarannya. Ia kemudian justru berterimakasih untuk yang telah terjadi. Ia menyimpulkan, ketika merasa disakiti orang lain, bereskan apa yang ada di dalam diri kita.

    Pertanyaan selanjutnya tentang apa parameter yang dimiliki seseorang agar mampu melihat suatu hal dari banyak sisi. Dengan sungguh-sunggguh Gobind menjelaskan bahwa pertama, ada keinginan untuk mengubah diri. Kemudian bicaralah pada diri sendiri. Netralkan, jaga emosi.

    Meski waktu perpustakaan nyaris tutup, Gobind berkeras untuk menunjukkan aksinya dengan menanyakan apa di antara audiens yang memiliki tissu. Sang pemilik tissu sekaligus dipanggil ke depan dan dipersilakan duduk menghadap audiens yang lain. Gobind memberikan catatan pada penonton agar tak bersuara dan mengatakan apapun pada sang relawan selama ia melakukan aksinya. Ia bentuk tissu ke dalam bulatan, kemudian ia genggam di salah satu tangan kanan atau kiri. Sembari berusaha mengecoh sang relawan, ia memindah-mindahkan tempat di mana gulungan tissu itu berada. Entah di genggaman tangan kanan atau kiri. Sang relawan terus saja salah menyebut tempat yang tepat. Seringkali tissu itu tak berada di kedua genggaman Gobind. Penonton tertawa, karena mengetahui bahwa gulungan tissu itu diam-diam dilemparkan Gobind ke belakang, di mana sang relawan tak mampu melihatnya. Meski sesungguhnya, makna yang ingin diambil adalah ketika masalah menghampiri, kita seringkali fokus pada hal-hal yang di luar, tanpa ingin menengok ke dalam diri sendiri. Oleh karena itu, ada baiknya kita mundur ke belakang, mencari jalan ke dalam diri dengan meditasi, kontemplasi, merenung atau berpikir. Kita jadi memiliki waktu untuk masuk ke dalam diri dan menelaah segalanya dari dalam. Bahkan Gobind menyarankan, setiap hari kita harus memiliki waktu untuk merenung dan berkumpul dengan orang-orang yang positif. Ketakutan, kegelisahan, kecemasan, dsb adalah sumbatan diri kita untuk mendapatkan kebahagiaan. Pemikiran kita terhadap masa lalu dan masa depan juga seringkali membuat kita tak bahagia di detik ini. Maka, hadirlah di detik ini untuk bahagia.
    
    Meski seringkali mengutip berbagai pemikiran dari Rumi, Gibran, bahkan kisah hidup Oprah, Gobind berbicara di depan audiens dengan gaya yang santai, bahkan seringkali kocak. Itu membuat acara menjadi cair. Pribadinya yang tenang dan menyenangkan membuat nyaman. Agak lebih dari waktu yang seharusnya, audiens antusias untuk berfoto dan book signing. Saya secara pribadi, kagum dengan apa yang mas Gobind lakukan. Datang bahkan sebelum audiens hadir, dan pulang ketika audiens sudah beranjak. Bahkan di akhir pertemuan, beberapa dari member GRI Sby masih sempat menyaksikan Gobind dan mbak Tika mengajak si kecil Rigpa menari-nari kecil. Kehangatan sang pembicara mungkin juga akan membawa pengertian-pengertian baru pada audiens ketika pulang. Tentang pemikiran baru, tentang pemaknaan baru terhadap kebahagiaan. Bisa jadi seperti yang Gobind Vashdev, sang heartworker katakan :    
        
       
    Kebahagiaan bergantung pada bagaimana kita memaknai kehidupan. 


Surabaya, 6 April 2014
Untuk Goodreads Indonesia,


Nabila Budayana 

Laporan Pandangan Mata : #Klub Buku 2 "Impian di Tepi Bakaro"

Klub Buku GRI #2
Klub buku GRI 2014 kali ini terasa lebih spesial karena hadir tiga pembicara sekaligus dan dilaksanakan dalam atmosfer ASEAN Literary Festival (www.aseanliteraryfestival.com yang bertempat di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Minggu, 23 Maret 2014 lalu menjadi minggu sastra yang sangat menyenangkan. Windy Ariestanty seorang penulis handal ditemani Rica Ishak (@RicaIshak) design activist dari komunitas Buku Untuk Papua (@bukuntukpapua)serta David Pasaribu (@davearga) yang merupakan pengagas terbitnya buku Impian di Tepi Bakaro hadir membagi cerita tentang Papua, Manokwari khususnya. Perbincangan hangat yang dikawal oleh Harun Harahap diawali dengan perbincangan mengenai Komunitas Suka Membaca (KSM) Manokwari. David menjelaskan bahwa KSM Manokwari terbentuk secara resmi pada tanggal 20 April 2013. “Awalnya ingin mencari teman yang sehobi, tentunya hobi membaca” papar David ketika ditanya soal latar belakang dalam menggagas lahirnya KSM Manokwari. Komunitas Suka Membaca merupakan sebuah wadah para pecinta buku yang hobi membaca sekaligus jembatan saling berbagi buku bacaan. Melalui KSM Manokwari ini, anak-anak Papua diajak untuk menulis sebuah cerita keseharian mereka yang terangkum dalam buku Impian di Tepi Bakaro. Ada tiga belas cerita terpilih yang terjilid dalam satu buku ini. Isinya, cerita kesederhanaan hidup yang dibalut kentalnya budaya khas Papua.
“Seperti pulang kampung, flashback ketika aku pernah tinggal dan besar di sana” cerita Rica ketika ditanya soal kesan yang paling melekat setelah membaca Impian di Tepi Bakaro. Rica juga menjelaskan bahwa apa yang diceritakan dalam Impian di Tepi Bakaro memang benar-benar seperti yang dia alami dulu ketika tinggal di Papua. “Aku seperti ada di sana” lanjutnya. Berbeda dengan Rica, Windy Ariestanty sangat terkesan dengan kekhasan berbahasa yang tetap dipertahankan dan warna mob yang sangat kental. “Kekhasan dari bahasa cakap Papua buat saya adalah ketika mereka menyingkat kata saya menjadi sa, kata tidak ada menjadi trada dan lain-lain. Buku ini, walupun dalam bentuk cerpen tetapi ketika kita membacanya, kita seolah-olah diceritakan langsung oleh penulisnya di hadapan kita sampai-sampai kita tertawa terbahak-bahak” jelas Windy. Gaya cerita dalam buku Impian di Tepi Bakaro ini juga dapat memberikan gambaran kehidupan sebenarnya di sana kepada orang-orang yang belum pernah ke Papua atau mengingatkan kenangan pada orang-orang yang pernah ke sana. Perbincangan semakin seru ketika Rica Ishak diminta membacakan salah satu dialog dalam cerpen Impian di Tepi Bakaro lengkap dengan dialek khas Papua, yakni intonasinya yang sangat unik.

Hujan yang turun di tengah-tengah diskusi tidak mengurangi kehangatan suasana yang tercipta bahkan semakin hangat karena audiens lebih mendekat dengan narasumber. Pembahasan tak hanya berkisar mengenai buku Impian di Tepi Bakaro namun juga mengenai geliat dunia literasi di tanah Papua. Rica, yang memang tinggal dan besar di Papua menuturkan bahwa edukasi sastra hanya terbatas melalui pendidikan formal. Belum ada kegiatan khusus yang bergerak di bidang literasi, orang-orang Papua lebih senang pada dunia olahraga, tari, menyanyi. David Pasaribu mengatakan hal senada dengan Rica. Lalu Windy bercerita pengalamannya berinteraksi langsung dengan orang-orang Papua. Windy Ariestanty ini sebenarnya pernah mengajar di Tanah Papua, khususnya di Raja Ampat daerah Misool dan Kofiau. Kedua daerah ini memberikan pelajaran penting bagi Windy. Di sana dia tak hanya mengajar tetapi belajar bahkan lebih banyak belajar, “Saya akan mengurangi kata mengajar karena pada dasarnya memang kita di sana belajar. Ada satu mindset yang keliru pada orang-orang yang datang ke Papua, yakni bahwa saya punya lebih, memberi, mengajar. Padahal, orang-orang Papua adalah orang-orang luar biasa, mereka punya banyak kelebihan dan mereka tidak perlu lagi diberi. Ada satu pelajaran yang sangat berharga dari salah seorang teman yang kebetulan menjadi volunteer sebagai Pastour, bahwa betapa menyenangkannya, orang-orang yang datang ke Papua dengan tidak beranggapan saya punya lebih dan untuk memberi, tetapi saya akan datang ke sana dan melihat mereka punya apa dan saya akan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka” tutur Windy yang disambut dengan riuh tepuk tangan audiens. Windy juga bercerita hambatan dalam berinteraksi dengan orang-orang Papua seperti ketika di Kofiau, suatu daerah di mana penduduknya yang memiliki kebiasaan melaut dan tidak biasa dengan orang asing yang tiba-tiba berjalan di area perumahannya. Salah seorang teman volunteer Windy menyarankannya untuk menjadi teman mereka dan mengerti apa keinginan mereka. Tantangannya tak sampai disitu, Windy juga mengalami kendala dalam bahasa yang memaksanya untuk memutar otak agar mereka mau menulis. “Orang-orang di Timur Indonesia mampu berbicara dengan tatanan bahasa Indonesia yang sangat bagus. Ngomongnya berlagu, berima dengan SPOK yang sempurna. Kosakata yang mereka gunakan juga sama hanya logat atau dialek dan bahasa khasnya yang disingkat-singkat yang terdengar agak berbeda di telinga kita. Tetapi itu sebuah kekhasan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh mereka.” ujarnya. Metode belajar-mengajar yang digunakan juga terbilang sulit, karena sasarannya tak hanya anak-anak namun kepala suku pun ikut dalam kegiatan ini. Windy melakukan hal-hal yang menyenangkan seperti mengajak berkeliling desa sambil melihat apa saja yang ada di sekitar lalu membebaskan mereka untuk memilih kata-kata yang paling disukai untuk dibuat di dalam sebuah kalimat. “Apapun yang menyenangkan mereka kita lakukan. Di sana tidak lagi berbicara soal teori bagaimana menulis yang bagus, yang terpenting adalah mereka mau membuat tulisan.” Tegas Windy.

Perbincangan semakin seru ketika membahas lebih dalam mengenai masalah perkembangan dunia literasi di Tanah Papua. David Pasaribu menjelaskan jika di Papua untuk kegiatan kesusateraan masih sangat jarang, masih terbatas dalam pendidikan formal, belum membudaya. Bahkan buku-buku dalam bentuk fisik masih sulit ditemukan meskipun sudah terbantu dengan teknologi seperti internet. Rica menambahkan bahwa fasilitas, transportasi dan SDM yang mumpuni dalam bidang literasi masih sangat kurang. Padahal kemampuan bahasa lisan orang-orang Papua sangat luar biasa, “Hebatnya orang Papua adalah mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar sampai daerah-daerah pelosok di pedalaman.” tuturnya. Windy Ariestanty juga membenarkan bahwa masalah transportasi yang berbanding lurus dengan jarak adalah salah satu faktor utama dalam terhambatnya perkembangan literasi di Tanah Papua. “Ini persoalan klasik. Hal klasik yang akan selalu terjadi pada negara kepulauan. Bahkan waktu saya mengikuti sebuah pelatihan internasional untuk copyright yang ketika itu tutor saya adalah seorang editor asal Inggris belum bisa memberi solusi untuk permasalahan distribusi pada negara kita yang berbentuk kepulauan. Internet, waktu itu diajukan sebagai solusi tapi lagi-lagi sulit untuk menyamaratakan kualitas teknologi di sebuah negara kepualauan yang sangat besar apalagi Papua yang berada di Timur Indonesia. Untuk listrik saja, mereka masih menggunakan generator yang dinyalakan sesuai dengan jadwalnya. Ini pekerjaan rumah buat kita. PR ini tidak mungkin tidak ada solusi jika orang-orang yang terlibat dalam industrinya memberikan kesempatan dan memikirkan hal ini dengan serius” ungkapnya.

Dunia literasi yang berkembang di Tanah Papua ini memang disebabkan oleh banyak faktor. Jarak, yang menjadi faktor utama lalu akses untuk memperoleh bacaan juga masih sangat terbatas mengingat kemajuan teknologi di negara kepulauan yang sangat luas ini masih timpang di sana-sini bahkan hanya ada satu toko buku di Jayapura dan masalah kepenerbitan juga tak kalah penting. Para penerbit buku jarang yang memahami permintaan buku-buku berkualitas yang dibutuhkan masyarakat dalam negara kepulauan. Seperti kita ketahui, negara kepulauan sudah pasti ditumbuhi budaya-budaya yang khas tiap daerah. Sudah pasti masyarakatnya memiliki kebutuhan yang berbeda di tiap daerah meskipun itu bahan bacaan. Windy Ariestanty yang sudah merasakan asam garam dunia penerbitan buku membagi ilmu yang sangat bermanfaat bagi kita, sebagai orang awam hanya tahu buku terbit lalu membacanya. Ada proses panjang yan terlibat dalam penerbitan sebuah buku. “Terkadang kita berpikir bahwa menerbitkan buku harus skala nasional. Ini merupakan mindset yang keliru buat saya. Ketika kita berbicara lokalitas, mari berpikir pada skala lokalnya. Mari bicara pada skala Papua, daya serap teman-teman Papua berapa? Lalu kita sanggup menyediakan berapa? Jangan paksakan selera nasional ke Papua. Buat mereka mau membaca. Tetapi, sekarang persoalannya, berapa banyak penerbit yang mau terlibat ketika kita bicara hal-hal tertentu saja? Penuhi dulu kebutuhan lokalnya. Berangkatlah dari hal-hal sederhana, hal-hal kecil” jelas Windy.
Diskusi berlanjut mengenai sejauh mana komunitas yang bergerak di bidang literasi di Papua. “Belum ada sama sekali” kata Rica Ishak ketika ditanya soal keberadaan komunitas menulis-membaca di Papua. Terbatasnya fasilitas yang mengakibatkan terbatas pula buku-buku fisikyang dibutuhkan membuat orang-orang Papua lebih senang pada bidang olahraga, seni tari ataupun menyanyi. Kurangnya sumber daya manusia juga menjadi faktor kurang berkembangnya dunia literasi di Tanah Papua. “Kalau untuk sastra sendiri belum ada selain dari pendidikan sekolah. Itu pun selama aku bersekolah, guruku bukan orang yang benar-benar memahami sastra. Hanya mengajar sebatas teori. Jadi, dari segi SDM-nya belum ada.” tutur Rica. Permasalahan ini sedikit-banyak sudah mulai teratasi dengan hadirnya Komunitas Buku Untuk Papua yang menyalurkan donasi buku-buku ke seluruh wilayah Papua. Rica Ishak yang merupakan bagian dari Buku Untuk Papua ini mengajak seluruh masyarakat untuk berdonasi dalam bentuk buku. “Sekarang kita dapat berkontribusi untuk perkembangan dunia literasi di Papua melalui donasi buku. Buku-buku ini melalui Buku Untuk Papua akan disebarluaskan ke seluruh penjuru Papua”.
“Yang paling penting buat saya sekarang ini adalah berkomunitas. Melalui komunitas, mereka mendapat akses. Semua bisa bergerak sendiri, tetapi ketika bersatu akan menjadi kekutan yang lebih besar. Seperti Bang David yang menggagas Komunitas Suka Membaca yang diawali mencari teman sehobi. Mencari teman ini sebenarnya akan menjadi spirit bersama. Kita punya isu yang sama, isu ini yang akan menjadi gerakan yang besar” jawab Windy ketika ditanya satu hal yang paling penting yang bisa dilakukan teman-teman Papua dalam menggerakkan di bidang literasi. Sementara David Pasaribu mengajak seluruh audiens yang hadir untuk membantu berkembangnya Komunitas Suka Membaca dengan membeli, membaca dan menyebarluaskan buku Impian di Tepi Bakaro. Redanya hujan juga mengakhiri diskusi buku Impian di Tepi Bakaro.

Foto-foto kegiatan dapat dilihat www.bacaituseru.flickr.com

26/03/14

[Klub Siaran GRI] 22 Maret 2014 @ Radio Pelita Kasih 96.3 FM


Hari Sabtu lalu, studio RPK kedatangan 4 perempuan cantik para penulis Little Stories: Lotus Creative Project. Buku ini adalah buku hasil mentoring Maggie Tiojakin, pendiri Fiksi Lotus. Mau tahu, apa saja yang diobrolkan Ayu dan Selvi dengan keempat penulis tersebut? Simak di: http://chirb.it/BOk2a5

Selalu dengarkan Klub Siaran Goodreads Indonesia di 96.3 RPK FM (streaming www.radiopelitakasih.com) setiap Sabtu pukul 07.00-08.00 WIB.

[Klub Siaran GRI] 15 Maret 2014 @ Radio Pelita Kasih 96.3 FM


Siaran kali ini, Klub Siaran GRI berkesempatan untuk ngobrol seru bersama Taman Bacaan Anak Lebah. Siaran yang dipandu oleh Uum dan Kak Lia rupanya sangat menarik sekali. Nggak percaya? Dengarkan saja rekamannya di sini:  http://chirb.it/fyzatg



Nah, gimana? Seru 'kan?

Jangan lupa dengarkan terus Klub Siaran Goodreads Indonesia di 96.3 RPK FM atau bisa juga streaming di www.radiopelitakasih.com setiap Sabtu pukul 07.00-08.00 WIB.
 

[Klub Siaran GRI] 8 Maret 2014 @ Radio Pelita Kasih 96.3 FM

Apa yang kali pertama terlintas di benak Anda begitu mendengar kata "sejarah"? Bisa dibilang membahas sejarah sama saja dengan dengan membahas masa lalu. Nah, kali ini kami, Klub Siaran Goodreads Indonesia, mengajak Goodreaders semua untuk bersama-sama meluncur sejenak ke masa lalu dengan mendengarkan siaran kami, Sabtu, 8 Maret 2014, di 96.3 RPK FM pukul 07.00-08.00 WIB yang membahas buku bergenre fiksi sejarah.

Buku yang kami bahas antara lain Dead End In Norvelt karya Jack Gantos dan Pulang karya Leila S. Chudori.

Kami coba mengulik apakah kisah sejarah yang ada dalam buku-buku tersebut adalah fakta atau hanya sekadar 'bumbu pemanis' saja.

Berikut adalah link siarannya: 

11/03/14

Goodreads Indonesia Medan @ World Read Aloud 2014


WRAD 2013 hingga WRAD 2014 adalah waktu vakumnya Goodreads Medan. WRAD 2014 bisa dibilang sebagai kebangkitan kembali Goodreads Medan dengan sejumlah kegiatan sesuai visi dan  misi Goodreads Indonesia. Beberapa anggota lama berkumpul kembali dan membicarakan berbagai program yang akan dilaksanakan tahun 2014, dimana yang terdekat adalah WRAD 2014.

Agenda WRAD 2014 di Medan dimulai dengan kopdar pertama setelah vakum. Kopi darat dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 26 Februari 2014 dihadiri oleh Nurlely, Pera, Hardi, Uchie, Rini, Mina, dan Nita. Pada kopdar ini semua berkomitmen untuk lebih banyak kegiatan perbukuan kembali dan pada kopdar ini ditunjuk Hardiansyah sebagai koordinator Goodreads Medan yang baru.


Kemudian Goodreads Medan berkesempatan untuk siaran dengan Radio Mutiara FM pada hari Sabtu tanggal 1 Maret 2014 Pukul 14 - 16 WIB. Goodreads Medan diwakili oleh Nurlely, Pera, Uchie dan Hardi. Siaran langsung tersebut membahas tentang Goodreads, Goodreads Indonesia dan Goodreads Medan. Selain itu kami juga mengampanyekan World Read Aloud Day 2014 dengan mendongeng secara langsung.







Acara puncak WRAD 2014 dilangsungkan di LBPP LIA Medan, dimana murid-murid "English for Children Class" berkumpul untuk acara "English Competition". Goodreads Medan diberikan waktu untuk memperkenalkan Goodreads dan World Read Aloud Day 2014. Kemudian membacakan dongeng "Amal and The Genie" dalam bahasa inggris bersama murid-murid LBPP LIA Monginsidi sebagai bentuk kampanye.




Pada World Read Aloud Day 2014, Goodreads Medan juga memberikan sertifikat seperti yang ada pada dokumen litworld.org untuk Radio Mutiara FM, LBPP LIA Medan dan anak-anak yg berpartisipasi dalam pembacaan dongeng, sebagai ucapan terima kasih dan kenang-kenangan.

Hardiansyah,
Koordinator Wilayah GRI Medan

10/03/14

Goodreads Indonesia Celebrates World Read Aloud Day 2014



Greetings,

Sunday, 2 March 2014 is a very special day. Amongst hundreds of Jakarta citizens flocking the Jakarta's Car Free Day around Hotel Indonesia Roundabout, a group of people wore "World Read Aloud Day" posters on them. These are Goodreads Indonesia members, with their bright red tees of 'Baca Itu Seru' (Reading is Fun) written on it, walking around the CFD area sharing words loudly and proudly.





This is our second participations in the World Read Aloud Day, which is celebrated on 5 March this year around the world. In this year Goodreads Indonesia proudly participate as the @litworldsays's partner celebrating their annual event in promoting reading culture around the world.

A week prior the Day, Goodreads Indonesia through our partner @rumahdongeng conducted #ReadAloud Week as each participants who sent their photos of reading aloud via twitter is donating 1 book for chosen Preschool (check photos here).

On Saturday, 1 March 2014 Goodreads Indonesia's Broadcast Club #ReadAloud "How Camel Got His Hump" by Rudyard Kipling live at the Radio Pelita Kasih 96.3FM. [Recorded broadcast here: http://chirb.it/3DBNe8]




The D-Day, 2 March 2014, we conducted the book marathon and book donations for @bukuntukpapua at the Jakarta's Car Free Day event. Why Book Marathon? Goodreads Indonesia eager to promote and spread out the power of words to other people by reading aloud one person to the next person. By reading the stories loudly, each person can then spread out the power of words to the other person and initiating a change, to the person who listen, then to change the world eventually. Just imagine we spread the power of words to one person, then he or she spreads them to the other person and so on, how many people have listen and sharing the power of words? The Book Marathon also brings a joy and togetherness whilst reading books loudly.






Goodreads Indonesia members not just celebrating the World Read Aloud Day in Jakarta, but also in Medan and Malang. We may celebrate in different ways but always with the same goals: to share the power of words.

Happy World Read Aloud Day, let's celebrate the power of words.
Read aloud. Change the world.

Share the words, keep reading as Reading is Fun

warm regards,
Goodreads Indonesia

"The more that you read, the more things you will know. The more that you learn, the more places you’ll go." –Dr. Seuss, I Can Read With My Eyes Shut!

09/03/14

[Klub Siaran GRI] 1 Maret 2014 @ Radio Pelita Kasih 96.3 FM

Menyambut World Read Aloud Day tanggal 6 Maret, Klub Siaran akan membacakan 2 buah cerita buat pendengar.

#1 Ayam Pegar, Burung Dara, dan Burung Murai (cerita klasik anak-anak dari Korea, berbahasa Indonesia)

#2 How Camel Got His Hump by Rudyard Kipling, English

Berikut link siarannya buat yang kemarin ketinggalan mendengarkan siaran kami:  http://chirb.it/3DBNe8

Dengarkan terus Klub Siaran GRI setiap Sabtu pukul 07.00-08.00 WIB di 96.3 RPK FM. Siaran ini juga bisa didengarkan secara streaming melalui www.radiopelitakasih.com

Ciao! ;p

[Klub Siaran GRI] 22 Februari 2014 @ Radio Pelita Kasih 96.3 FM


Mengambil genre satire, Klub Siaran GRI yang diwakilkan oleh Ayu dan Ijul akan ngobrol tentang buku yang berjudul The White Tiger karya Aravind Adhiga. Bagi yang masih asing mendengar apa itu genre satire, kami juga membahasnya dalam siaran ini.


Buat yang ketinggalan siaran lalu, bisa dengarkan rekaman kami di: 

Dengarkan terus Klub Siaran GRI setiap Sabtu pukul 07.00-08.00 WIB di 96,3 RPK FM atau juga bisa streaming di www.radiopelitakasih.com

Terima kasih! :D

[Klub Siaran GRI] 15 Februari 2014 @ Radio Pelita Kasih 96.3 FM

Di Radio RPK 96,3 FM Jakarta, 15 Februari 2014, pukul 07.00 – 08.00 WIB, Lia & Uum dari Tim Klub Siaran Goodreads Indonesia mengobrol dengan Komunitas FENCY dan MITRA NETRA, komunitas yang peduli terhadap penyandang tuna netra, dan memberi perhatian khusus terhadap penyediaan buku-buku yang dapat diakses dengan mudah oleh para penyandang tuna netra itu.

Topik utama obrolannnya adalah tentang Komunitas Elektronik Braille Indonesia, buku audio dan kegiatan mengetik buku untuk tuna netra. 

Dari obrolan ini, kita menjadi tahu juga bagaimana caranya bila kita ingin ikut terlibat dalam kegiatan komunitas ini dan sejauh apa kita bisa terlibat.

Berikut adalah link siarannya:  http://chirb.it/b33h5J

06/03/14

Goodreads Indonesia @ World Read Aloud 2014
















Salam kata,

Minggu, 2 Maret 2014 lalu merupakan Minggu yang berbeda. Di tengah-tengah rutinitas warga ibukota yang hanya memiliki satu hari tanpa kendaraan bermotor, ada sekelompok orang dengan poster “World Read Aloud” di dadanya. Ya, komunitas Goodreads Indonesia dengan kostum merah “baca itu seru”-nya berkeliling di area Jakarta Car Free day, berbagi kata dengan lantang. Ini adalah kali kedua Goodreads Indonesia (GRI) ikut menyemarakkan World Read Aloud yang tahun ini jatuh pada tanggal 5 Maret 2014 di seluruh dunia. Pada tahun ini juga, GRI resmi menjadi partner @litworldsays dalam menyemarakkan World Read Aloud yang merupakan kegiatan tahunan @litworldsays dalam rangka menumbuhkembangkan budaya baca di dunia. @litworldsays sendiri adalah sebuah organisasi yang dirancang khusus oleh @PamAllyn untuk mendorong dunia literasi. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kepada dunia bahwa hak membaca dan menulis adalah milik semua orang. Memotivasi anak-anak, remaja dan bahkan orang dewasa di seluruh dunia untuk merayakan kekuatan kata-kata. 

Sebenarnya, seminggu sebelumnya GRI sudah melakukan rangkaian kegiatan dalam rangka menyemarakkan  World Read Aloud Day ini, mulai dengan bekerjasama @rumahdongeng mengadakan #ReadAloud Week di mana tiap orang yang mengirimkan foto #ReadAloud nya melalui Twitter berarti ikut menyumbangkan 1 buku anak untuk PAUD (foto-foto lihat di sini). Lalu, Sabtu, 1 Maret 2014 #ReadAloud live oleh Klub Siaran GRI di Radio Pelita Kasih 96.3 FM (www.radiopelitakasih.com ) dengan membawakan cerita "How Camel Got His Hump"-nya Rudyard Kipling.

Puncaknya, book marathon dan donasi buku yang ditujukan kepada @bukuntukpapua di Jakarta Car Free Day. Book marathon ini adalah suatu kegiatan membaca secara marathon dari satu orang ke orang lain dengan suara lantang tentunya. Kenapa harus marathon dan bersuara lantang? Begini, konsep dasar dari book marathon adalah world dan read aloud, dunia dan membaca lantang. Artinya, melalui book marathon ini, GRI ingin menyebarkan kekuatan kata-kata dengan membacanya dengan lantang dan saling bergantian. Dengan begitu, setiap orang dapat menyebarkan kekuatan kata-kata kepada orang lain dan membuat sebuah perubahan, perubahan pada orang yang mendengarnya, perubahan pada dunia. Bayangkan saja, jika satu orang membagikan satu kata kepada orang lain, lalu orang itu membagikannya kepada orang berikutnya dan begitu seterusnya, maka sudah berapa banyakkah orang yang tahu kata itu? Terlebih lagi sebuah cerita. Coba kalian bayangkan! Mungkin di dunia ini tak ada lagi kesenjangan ilmu, tak ada lagi kesenjangan sosial. Dunia penuh dengan orang-orang cerdas.

Book marathon ini juga menghadirkan suasana berbeda, ada keceriaan dan kebersamaan yang tercipta ketika membacakan sebuah buku secara bergiliran. Ada atmosfer berbeda ketika kalian membaca sebuah buku secara bergiliran dan dengan suara lantang. Selain di Jakarta, di daerah-daerah lain di Indonesia juga ikut menyemarakkan World Read Aloud Day dengan cara yang berbeda-beda tetapi tetap satu tujuan, membagikan kata-kata kepada seluruh orang. Merayakan kekuatan kata-kata. Mengubah dunia. Selamat merayakan kekuatan kata-kata. Read aloud. Change the world.

Tetap berkata-kata, Tetap membaca. Baca Itu Seru.
Salam,


Goodreads Indonesia

The more that you read, the more things you will know. The more that you learn, the more places you’ll go. –Dr. Seuss, I Can Read With My Eyes Shut!       






Dokumentasi dan video Goodreads Indonesia pada Kampanye #ReadAloud 2014 klik di sini dan di sini. 

19/02/14

[Klub Siaran GRI] 1 Februari 2014 @ Radio Pelita Kasih 96.3 FM

Hai, teman-teman!

Berikut adalah link siaran kami pada tanggal 1 Februari.Bagi yang kemarin tidak sempat mendengarkan, cek yang satu ini ya :D

01 Februari 2014 -> http://chirb.it/K2K9cp

Dalam siaran kali ini kami memahas buku "Aku Jujur" serta membacakan beberapa isinya untuk pendengar. Siaran kami juga bisa didengarkan secara streaming melalui www.radiopelitakasih.com. Dengerin terus Klub Siaran GRI setiap Sabtu pukul 07.00-08.00 WIB hanya di You 'n the City 96.3 FM Radio Pelita Kasih.


 

[Klub Siaran GRI] 8 Feruari 2014 @ Radio Pelita Kasih 96.3 FM

Hai, teman-teman!

Berikut adalah link siaran kami pada tanggal 8 Februari.Bagi yang kemarin tidak sempat mendengarkan, cek yang satu ini ya :D

08 Februari 2014 -> http://chirb.it/E7AphP

Dalam siaran kali ini kami memahas buku "Made of Stars" oleh Hana Krisviana dan "Cosplay Couple" oleh Adrindia Ryan. Siaran kami juga bisa didengarkan secara streaming melalui www.radiopelitakasih.com. Dengerin terus Klub Siaran GRI setiap Sabtu pukul 07.00-08.00 WIB hanya di You 'n the City 96.3 FM Radio Pelita Kasih.

[LPM]Diskusi "Niskala" bersama Daniel Mahendra @TogaMas Buahbatu.

Setelah lebih dari satu tahun "libur", akhirnya GRI Bandung bikin acara lagi. Kali ini bukan sekedar kopdar, tapi juga diskusi novel "Niskala" yang dihadiri penulisnya Daniel Mahendra.

Mundur sedikit dari jadwal, diskusi dibuka oleh Abdyka, koordinator Goodreads Indonesia untuk wilayah Bandung. Dan, tak sedikit pengunjung Toga Mas Buah Batu yang awalnya hanya berkunjung kemudian ikut duduk untuk mendengarkan diskusi.

Diskusi yang dipandu oleh Barokah Ruziati, atau yang biasa dipanggil Mbak Uci, dibuka dengan pertanyaan: "bagaimana ceritanya novel ini menjadi mahar pernikahan?"
DM - panggilan akrab Daniel Mahendra senyum-senyum mendengar pertanyaan itu. "Kalau kasih perhiasan, kasih sedikit malu, kalau banyak nggak mampu belinya," jawab DM sambil tertawa. "Tapi mahar ini sesuai permintaan Lita," lanjut DM, yang kemudian menjelaskan "sejarah singkat" pertemuannya dengan isterinya itu.

Mbak Uci kemudian melanjutkan obrolan mengenai perjalanan. Mulai dari pengalaman DM pergi ke Tibet dan Rinjani, dua dari beberapa tempat yang menjadi setting di novel ini, hingga akhirnya menyentuh konsep pulang.

"Dulu saya hanya travelling, kemudian menulis, untuk kemudian travelling lagi. Begitu terus," kata DM. "Namun setelah bertemu Lita, dan menikah, saya jadi tahu makna sebenarnya dari pulang," tambahnya.

Obrolan kemudian berganti topik mengenai perbedaan keyakinan yang menjadi konflik dalam cerita "Niskala". "Justru konflik inilah yang menjadi inti cerita dari Niskala," jelas DM. Islam Sahitya, aliran yang diceritakan tentu saja tidak ada. "Dan itu bisa diartikan sebagai aliran apa saja, entah itu Ahmadiyah, Syiah, atau apapun," kata DM lagi.

Ketika ditanya siapa panutan dalam menulis, DM tanpa ragu menjawab "Gola Gong!" Satu hal yang begitu menginspirasi DM adalah kemampuan Gola Gong untuk menjadi penulis yang produktif, meski harus mengetik dengan hanya menggunakan satu tangan. "Kalau kita yang masih bisa mengetik dengan dua tangan tapi tidak produktif, malu rasanya," kata DM.

Ada yang menarik dari diskusi ini, karena ada satu pengunjung yang datang telah beberapa kali membeli "Niskala" untuk dihadiahkan kepada orang lain. "Karena Niskala bisa menjawab pertanyaan yang sering diajukan orang kepada saya," kata Aldi, nama pengunjung itu.

Diskusi ini kemudian ditutup dengan pertanyaan "bagaimana kisah Sanggita selanjutnya?" DM menjelaskan bahwa memang banyak orang yang telah membaca Niskala bertanya mengenai nasib tokoh utama wanita dalam cerita ini. "Jawabannya ada di sekuel novel ini," kata DM.

Acara yang berlangsung lebih dari satu jam ini kemudian ditutup dengan sesi tanda tangan dan foto bersama dan beberapa anggota Goodreads melanjutkan obrolan kecil di sebuah kafe diseberang Togamas Buahbatu sembari mendiskusikan pelaksanaan Kopdar Tahun ini. Diiringi rintik hujan dan minuman panas dengan berlatar belakang suara pertandingan sepakbola, diputuskan KopDar akan diadakan tanggal 13 april 2014. Sampai jumpa disana :D 

(Abdyka, Koordinator Wilayah GRI Bandung)

11/02/14

LPM Klub Buku Offline #1: Mahir Pradana

Sabtu, 01 Februari 2014 sebuah diskusi hangat “Rhapsody” hadir di tengah-tengah Bamboo Dimsum Radio Dalam, Jakarta Selatan. Sekitar tiga puluh orang turut menghangatkan suasana diskusi. Diskusi klub buku kali ini dipimpin oleh seorang moderator yang juga berteman baik dengan sang penulis, yakni Mia Fiona. Mia membuka diskusi dengan subjudul dari Rhapsody, ‘selalu ada alasan untuk pulang’. Mahir Pradana menjelaskan bahwa sejauh apapun kita pergi menjauh dari kota asal, akan selalu ada alasan untuk pulang ke rumah. Proses pencarian kata ‘selalu ada alasan untuk pulang’ ini menghabiskan waktu dua bulan.

Rhapsody, yang berarti irama kebahagiaan ini punya proses yang cukup panjang. Penentuan judul buku ini melalui beberapa nama, mulai dari Dream Together, Makassar Paradise, Istana Langit sampai akhirnya kepada Rhapsody, ide sang editor. Lalu, Makassar Paradise yang merupakan ide dasar dari Rhapsody ini terinspirasi dengan Hostel Helter Skelter di Berlin. Sebuah hostel yang menjadi mimpi dari tokoh utama dilatarbelakangi oleh pemilik hostel nyentrik yang ditemui langsung oleh Mahir. Faktanya, hingga kini belum ada hostel yang nuansanya benar-benar tergambar di Makassar Paradise. Label Makassar Paradise sendiri diambil dari judul lagu Coldplay, Paradise. Makassar, yang memang menjadi setting tempat Rhapsody diambil Mahir karena Mahir Pradana adalah seorang laki-laki Makassar, yang sangat mengenal daerah itu.

Diskusi berlanjut mengenai karakter-karakter yang muncul di dalam Rhapsody. Berbeda dari penulis lain, Mahir Pradana dengan khasnya menciptakan setiap karakter yang dimunculkan di setiap bukunya, terutama dalam Rhapsody ini. Abdul Latif Said atau yang dikenal dengan Al diceritakan sebagai tokoh utama yang bermimpi memiliki sebuah hostel yang nyaman untuk para traveler yang berkunjung ke tanah kelahirannya, Makassar. Al tentunya terisnspirasi dariseorang Mahir Pradana sendiri. Mimpi-mimpi Al sebenarnya refleksi dari mimpi-mimpi Mahir sendiri, kecuali untuk Makassar Paradise, hanya Al yang memiliki mimpi ini. Nama Abdul Latif diambil Mahir, karena berciri khas Indonesia juga sebagai plesetan, “Abdul Latif itu menggambarkan laki-laki Indonesia, dengan panggilannya Si Al (baca: sial)." Miguel Luis Carrion Martinez, seorang Spanyol yang muncul tiba-tiba dan akhirnya menjadi kakak ipar Al ini terinspirasi dari teman sepermainan Mahir Pradana. “Namanya sama-sama Miguel, sama-sama berasal dari Spanyol dan sama-sama supel orangnya” Mahir menjelaskan. Mahir bercerita bahwa dia memiliki dua orang teman ketika di Swiss, yaitu Miguel dan Jose yang selalu postive thingking. Hingga Mahir menciptakan seorang Miguel dengan sifat yang sama persis dengan Miguel dan Jose. Nama Miguel sebenarnya perpaduan antara nama Miguel dan nama belakang Jose. Lalu Bambang atau lebih dikenal dengan sapaan Bebi. Seorang banci Makassar yang sangat kental okkotsnya ini diciptakan Mahir karena ingin memunculkan sosok sidekick yang terinspirasi dari karakter Emon-nya Catatan si Boy.

Simon, seorang tour guide yang didatangkan Mahir untuk mempromosikan Makassar. Melalui Simon ini, Mahir memperkenalkan metode “Free Tour Guide” sambil menyisipkan kepariwisataan Makassar. Free tour guide ini memang benar ada, di mana seorang tour guide akan mengantar rombongan tur dan bercerita mengenai sejarah terkait lokasi-lokasi bersejarah di suatu kota, jika puas wisatawan bisa memberinya tips secara sukarela jika tak puas tak usah bayar. Mahir menemui metode ini di Praha. Nadia, seorang gadis yang mengisi hari-hari Al selama di Eropa diceritakan Mahir sebagai konflik cinta Al. Cerita cinta Al-Nadia terinspirasi dari kisah-kisah cinta anak muda pada umumnya. Siti Zulaikha Said atau Siska, kakak perempuan Al yang terpaut sepuluh tahun ini digambarkan sebagi sosok perempuan yang bitter dan suicidal. Karakter Siska ini diambil dari karakter-karakter di sekelilingnya. Sari Desiana, teman SMP Al yang menjadi cinta terakhir Al ini terlahir dari ‘Sari’-nya Mahir. Karakter-karakter Sari ditumbuhkembangkan Mahir sesuai dengan ‘Sari’ sesungguhnya dan kisah cinta yang dialami Al juga hampir sama dengan yang dialami Mahir.

“Rhapsody ini berkomposisi 60% fiksi dan 40% fakta, bagian mana yang fiksi dan bagian mana faktanya?” tanya Ayu, salah seorang peserta diskusi. Mahir menjelaskan bahwa fakta yang tersusun di Rhapsody ini lebih banyak berupa gambaran-gambaran keunikan setiap kota yang diangkatnya, mimpi-mimpi Al tentang keinginannya membahagiakan kakak perempuannya juga tentang kisah cintanya dengan Sari. Sementara sisanya adalah fiksi, seperti Hostel Makassar Paradise yang belum pernah ada di Makassar. ‘Banco de Favores’, konsep bank budinya Paul Coelho yang diangkat Mahir ini menjadi pertanyaan Jul, salah seorang peserta diskusi. Dia bertanya mengapa dia mengangkat konsep tersebut padahal belum tentu pembaca Rhapsody juga pembaca The Zhahir-nya Paul Coelho. Mahir lalu bercerita bahwa, cerita Al yang berjumpa dengan Agatha Carrion memang benar-benar terjadi pada dirinya. Hanya latar tempat, nama belakang Agatha dan orang yang terlibat yang berbeda. Kalau Al mengalami kejadian itu di Berlin dan sendirian mengangkat lemari besar itu, Mahir mengalaminya bersama tiga orang temannya di Paris. Awalnya, Al dan Mahir sama-sama enggan untuk menolongnya, karena memang wanita itu orang yang tidak dikenalnya namun pada akhirnya keduanya membantunya dengan ikhlas. Al mendapat balasan kebaikan itu melalui Miguel, anak laki-laki Agatha. Sejak saat itu, Mahir percaya bahwa setiap kebaikan yang kita lakukan kepada seseorang merupakan tabungan yang suatu saat dapat kembali ke kita sendiri melalui orang lain. Inilah yang kemudian diadaptasi ke dalam Rhapsody melalui Al, Agatha dan Miguel.

Selain karakter-karakternya yang digambarkan kuat oleh Mahir, Rhapsody ini juga dihiasi dengan syair-syair lagu pembuka di setiap awal cerita juga disisipi Lesson of Life. “Saya sebenarnya lebih suka Snow Patroll” kata Mahir. Syair-syair lagu Coldplay diangkat Mahir karena nama hostel Makassar Paradise diambil dari judul lagu Paradise-Coldplay. Mahir membuat Al mencintai Coldplay yang pada akhirnya juga mencintai Snow Patroll. Lalu Lesson of Life yang disisipkan dicerita diambil dari pengalaman-pengalaman hidup pribadi seorang Mahir Pradana. Syair lagu dan Lesson of Life ini menjadi ciri khas Rhapsody dari buku sebelumnya.

Diskusi semakin seru dengan pertanyaan-pertanyaan unik seperti pertanyaan Selvi, “Di Rhapsody ini, Mahir menciptakan tokoh utama seorang cowok bernama Al, mungkinkah di buku-buku selanjutnya Mahir akan melahirkan tokoh utama cewek?”. Pertanyaan sekaligus tantangan ini ditanggapi Mahir dengan serius. Mahir sudah berencana dan akan mencoba membuat cerita dengan tokoh utama seorang cewek. Mahir juga mengaku kesulitan dalam menciptakan tokoh utama cewek. “Penciptaan karakter-karakter cewek SMA buat saya agak sulit. Tapi saya akan coba.” “Dan memang agak sulit untuk seorang penulis menciptakan sekaligus menginterpretasikan karakter lawan jenisnya menjadi tokoh utama. Leila S. Chudori memang berhasil dalam Pulang-nya namun levelnya sudah tinggi. Ada juga yang pernah membuat seperti itu, hanya rasanya bisa dibayangkan sendiri kalau ada seorang tokoh cowok macho tapi Beyonce jadi soundtrack hidupnya. Tak ada salahnya sih, namun…. Ya bisa dibayangkanlah.” Jelas Mahir sambil senyum-senyum.

“Penulis favorit Mahir siapa? Dan apakah penulis ini berpengaruh besar dalam karya-karya Mahir?” tanya Harun, peserta diskusi klub buku. Mahir menjawab, salah satu penulis favoritnya adalah Nick Hornby. “Rhapsody ini sedikit banyak dipengaruhi oleh High Fidelity-nya Nick Hornby”. Penulis lainnya yang disebutkan adalah Aditya Mulya dengan Jomblo-nya.

Pukul 3 sore, diskusi ditutup dengan foto bersama Mahir Pradana. Semua peserta diskusi klub buku Rhapsody tersenyum puas, puas berinteraksi langsung dengan Mahir Pradana juga puas dengan dimsum-dimsum yang sangat lezat dan mengenyangkan. Semoga bermanfaat!! Trims. :)