07/04/14

LPM Bincang Buku Happiness Inside - Gobind Vashdev

    Acara : Bincang Buku Happiness Inside

    Tema : "Makna Kebahagiaan dalam Kehidupan"
    Hari / Tanggal : Kamis / 3 April 2014
    Waktu : 18.30 WIB
    Pembicara : Gobind Vashdev
    Audiens : Umum
    Persembahan Goodreads Indonesia reg. Surabaya

    Berkali-kali saya menatap buku biru itu. Sederhana saya mengingat, buku biru dengan sebuah kepala berisi bunga-bunga. Judulnya Happiness Inside. Saya belum lelah juga meliriknya berkali-kali setiap kali melalui rak toko buku. Tapi lirikan itu belum berujung pada pembelian juga, karena berbagai alasan. Hingga suatu siang tahun lalu, di teras rumah, saya dan mbak Novri Chitra, korwil GRI Sby saat itu, berbincang tentang apa saja. Tiba-tiba perbincangan kami bermuara pada Gobind Vashdev. Nama asing buat saya yang kurang gaul ini. Namun mbak Novri, yang telah mengenal sebelumnya, dengan sabar menjelaskan. Siapa ia dan buku Happiness Inside yang ia tulis. Saya tertarik. Ujung-ujungnya, kami berangan suatu saat akan mengundang beliau untuk acara GRI Sby.

    Fragmen angan itu terwujud beberapa hari lalu. Setelah beberapa waktu tak lagi mengikuti timeline twitter, saya iseng kembali menyusur kicauan orang-orang. Satu kicauan langsung menggerakkan saya untuk 'merayu' mbak Novri agar bersedia direpotkan. Gobind Vashdev menyebutkan jadwal akan mengunjungi Surabaya di akhir pekan di awal bulan ini (April 2014). Mbak Novri langsung mengiyakan, sementara saya baru sadar bahwa saat itu sudah kurang dari tujuh hari ke depan. Singkatnya, semuanya serba terburu-buru dan tanpa rencana. Kami sempat pesimis, dan tak berharap akan banyak audiens yang datang. Selain karena bukan di akhir pekan atau hari libur, acara juga berlangsung di malam hari. Namun puji syukur, semuanya bisa berjalan dengan baik. Untuk semua kerepotan dan keterburu-buruan yang sudah saya timbulkan, izinkan saya mengucap banyak terima kasih untuk teman-teman GRI Sby yang sudah sudi membantu di tengah kesibukan masing-masing : Mbak Novri Chitra, Tante Henny Ces, Ghozi Septiandri, Mas David Sentika, dan semua teman-teman lainnya. Juga untuk teman-teman Klub Buku Surabaya, untuk persaudaraan dan kesediaannya beramai-ramai hadir, serta untuk beberapa kawan dari Sekolah Awan.    

    Acara dimulai pukul 18.30. Sekitar pukul 18.00, dibantu oleh teman-teman pustakawan perpustakaan kota Balai Pemuda, setting lokasi acara sudah bisa diselesaikan. Beberapa menit kemudian, seorang wanita cantik dengan putra kecil di pelukannya memasuki perpustakaan dan membagi senyumnya. Kemudian mengikutinya, dengan tenang, seorang pria dengan kemeja putih dan jeans cokelat memasuki perpustakaan. Saya menyapanya. Ialah Gobind Vashdev. Saya terkesan dengan awal perkenalan kami, ketika saya mengucapkan terima kasih untuk kesediaannya hadir, ia menjawab dengan senyum dan telapak tangan yang disentuhkan ke dadanya. Itu cukup menjelaskan bahwa ia hadir dengan ketulusan ingin berbagi. Di tengah obrolan-obrolan ringan kami, ia mengenalkan saya pada seorang wanita cantik dan putra kecil dengan rambut mengombak yang saya lihat tadi sebagai istri dan putra pertamanya, Mbak Tika dan Rigpa. Rigpa nampak lincah berlarian ke sana ke mari, menjelajah perpustakaan. Sementara itu, saya mengobrol ringan dengan Mas Gobind. Saya sempat tidak enak hati, karena sepertinya ia yang lebih banyak mendengar racauan saya. :) Di tengah itu, saya juga menanyakan apa yang menjadi kesibukannya akhir-akhir ini. Ia berkisah bahwa saat ini, ia sekeluarga bersifat nomaden. Keliling Indonesia, dari satu tempat ke tempat lain, untuk berbagi ilmu. Dan hebatnya, 80% dari keseluruhan acaranya adalah bersifat sosial. Seperti berbagi di Rumah Sakit dan Panti Jompo. Kemudian, sembari mengobrol, Mas Gobind menanyakan kapan hari ulang tahun saya dan membukakan Kalender Abadi miliknya. Kalender itu disusun oleh Gobind Vashdev sendiri, dengan masing-masing hari pada kalender tersebut tertulis pesan-pesan bijak yang berbeda. Ternyata, di hari ulang tahun saya tertera gambar three wise monkeys, dan tertulis "Oh Tuhan ambillah semua fasilitas menghakimi dari pikiranku, biarkan diriku menjadi "buta dan tuli" sehingga aku bisa melihat dan mendengar segalanya sempurna, seperti Engkau melihat setiap ciptaan-Mu" Dan itu mengena untuk saya. Mas Gobind menjelaskan, kita masih sering menciptakan pemaknaan sendiri. Ada persepi-persepsi dalam kepala kita yang cenderung membuat kita memandang sesuatu tidak dengan netral. Oleh karena itu, ada harapan untuk menatap segalanya dengan 'tanpa apa-apa', sama seperti halnya anak-anak memandang dunia. Saya terdiam. Mungkin serasa ditertawakan Mizaru, Kikazaru dan Iwazaru, tiga monyet bijak itu.
    
    Beberapa saat setelah itu audiens mulai berdatangan, namun hanya beberapa. Enggan membiarkan suasana menjadi canggung, Gobind justru mengajak mereka mengobrol dan menghibur mereka dengan berbagai candaan ringan. Misalnya saja tentang pengalaman menarik tentang dirinya yang tak beralas kaki ke mana-mana. Atau justru pengalamannya dalam membantu proses kelahiran si kecil Rigpa di rumah sendiri. Tanpa perlu menunggu lama, acara dimulai. Berbeda ketika bicara secara pribadi, di depan audiens, Gobind Vashdev justru sangat santai dan menghibur. Audiens bisa menertawakan berbagai anekdot, meski tema kami "Makna Kebahagiaan dalam Kehidupan". Awalnya, Gobind berkisah tentang bukunya, Happiness Inside yang telah memasuki cetakan ke-13 saat ini, dan misinya untuk menanam satu pohon dari setiap cetakan yang terjual sebagai bentuk cintanya pada alam. Ia pun bercerita tentang bagaimana awal mula ia memulai untuk menulis. Sesungguhnya seorang Gobind sempat merasa tidak percaya dirinya mampu menulis dan menerbitkan buku. Baginya, buku Happiness Inside adalah sebentuk paksaan dari semesta untuknya. Saat melakukan healing program di Bantul selama satu bulan, seorang wartawan menanyakan pada Gobind tentang apa yang ia lihat dari bencana di tempat itu. Gobind menjawab, "Ada keindahan dalam bencana ini" Merasa tak puas dengan jawaban dari seorang Gobind, sang wartawan kesal dan memintanya untuk menulis sendiri tentang bencana tersebut, kemudian dikirimkan melalui email. Diakui Gobind, waktu tenggat tujuh hari itu menjadi waktu 'yang menyiksa'. Hasilnya, ketika tulisan tersebut terbit di majalah, tak banyak proses editing yang diberikan. Justru ia mendapat banyak respons positif dari pembaca. Semenjak itu, setiap bulan Gobind "diteror" untuk mengirimkan tulisan. Sampai akhirnya seorang teman memintanya untuk mengisi sebuah acara di radio. Merasa tertarik dengan yang Gobind bicarakan, sebuah penerbit menelepon dan meminta untuk menerbitkan tulisan-tulisannya. Sampai akhirnya buku Happiness Inside terbit dan mengikuti alirnya. Gobind pun mengungkap salah satu pemikiran menariknya. Ia berkisah bahwa ia tak pernah memiliki kartu nama, proposal, atau melakukan bentuk marketing apapun untuk 'menawarkan dirinya'. Ia menyerahkan pada semesta, dan mengatakan "Gunakan saya, semesta"  
    
    Berpindah pada proses kreatifnya dalam menulis Happiness Inside, banyak kejadian menarik. Berangkat dari membaca fenomena bunuh diri dari surat kabar, lahirlah tulisan "Bunuh Diri Menular". Bunuh Diri Menular menunjukkan bahwa budaya tren mampu mempengaruhi banyak orang untuk melakukan hal yang sama. Alam bawah sadar kita menyerap dari berbagai berita di media, dan akhirnya dilakukan dalam tindakan. Jadi, bukannya tidak mungkin ketika perilaku bunuh diri bersifat menular.  
  
    Gobind menjelaskan seringkali kita salah menyikapi masalah. Ketika ada suatu kejadian, jangan  bertanya maknanya. Justru dunia yang akan bertanya, bagaimana kita memberi makna. Buruk dan baik sangat dikendalikan oleh persepsi. Untuk apapun yang terjadi, tetap bersyukur. Pada setiap kejadian, tidak ada positif dan negatif. Kejadian selalu bersifat netral. Positif dan negatif tergantung dari kepentingan kita. Ia memberi contoh dengan kisah tentang meludah. Tentu akan berbeda ketika kita diludahi oleh orang dewasa dan seorang bayi. Dari hal itu kita bisa belajar, bahwa masalahnya bukan dari situasi atau dari luar. Namun masalahnya adalah bagaimana meletakkan makna pada suatu hal. Manusia tidak pernah bermasalah dengan ego, kesombongan, dsb. Namun kacamata kita yang seringkali kotor, dan memandang segala sesuatu dengan negatif. Jika mendapat masalah, jangan cari jalan keluar, karena masalahnya ada di dalam diri sendiri. Gobind mencontohkan seperti yang ada di dalam buku Happiness Inside. Tentang dirinya yang tengah menyetir di tengah arus lalu lintas Jakarta. Di sela waktu menunggu traffic light berubah warna, ia membaca buku. Bagaimana ia tak terkejut ketika kendaraan di antrian di belakangnya membunyikan klakson, pertanda lampu telah berganti hijau, saatnya untuk kembali melajukan kendaraan. Awalnya, sama seperti pada umumnya, ia tak mampu menahan amarah. Namun kemudian ia menyadari bahwa justru itu adalah kesalahannya sendiri, telah menghilangkan kebahagiaan dari dirinya sendiri. Belajar dari itu, ia memberi makna baru pada klakson berikutnya. Bukan "lambat atau bodoh" namun bentuk sapaan dari seorang kawan. Segalanya bergantung dari program yang ada di dalam diri kita. Semua di dunia ini tergantung dari makna yang kita berikan.
    
    Merasa tertarik dengan berbagai pernyataan Gobind, audiens mulai mengajukan pertanyaan. Misalnya saja, seorang penanya yang menanyakan tentang seorang rekannya yang kesulitan memberikan alternatif makna dalam kehidupan. Tak menjawab secara langsung, Gobind justru berkata sebelum membantu orang lain, bantu diri sendiri terlebih dahulu. Ada juga yang perlu diwasapadai adalah ketika kita sampai pada paradigma menyalahkan orang lain dan membenarkan diri sendiri. Semestinya kita bijak dengan tak menyalahkan, namun memahami. Kita membenci, karena kita belum memahami. Ketika kita belum memahami, kita tidak akan mungkin mengubah. Sebelum mengubah, kita mesti netral memandang. Karena mengerti, cinta itu muncul. Pahami tanpa menyalahkan. Jangan fear based, namun love based. Gobind mencontohkan Socrates yang tidak mengubah orang lain dengan cara mempengaruhinya, namun dengan bertanya kepadanya. Untuk mengubah orang lain, kita bertanya, agar dia mampu mengubah dirinya sendiri.
    
    Pertanyaan berikutnya tentang bagaimana Gobind berproses menemukan kebahagiaan. Ia berkisah bahwa setiap orang bertumbuh. Menggunakan prinsip Awareness Before Change, harus adanya kesadaran internal sebelum berubah. Selftalk akan membawa kita pada kesadaran. Gunakan emosi yang netral. Bagi Gobind, setiap orang mengejar kebahagiaan sesuai dengan kesadarannya. Salah satu penghalang kebahagiaan adalah goresan. Kita terluka atau tergores karena hati kita tidak cukup besar untuk menampung masalah. Selain itu, kita selalu berpikir harus ada yang disalahkan dalam setiap masalah sebagai pengalih perhatian dari rasa sakit yang kita alami. Kebanyakan kita berpikir kebahagiaan adalah tercapainya keinginan atau terpenuhinya hasrat. Itu terus berujung pada kita yang selalu mencari target baru, menjadikan lelah dan tak ada habisnya.

    "Bagaimana jika kita tidak bahagia karena trauma masa lalu?" itu yang terucap dari salah seorang penanya yang lain. Gobind menjawab bahwa waktu tidak pernah menyembuhkan. Yang menyembuhkan seseorang adalah kesadaran. Kesadarannya bahwa sesuatu sempurna atas izinNya. Ia mengatakan, meletakkan makna baik di setiap kejadian pernah menjadi hal yang tidak mudah juga untuk Gobind. Suatu saat di masa kanak-kanaknya, ia pernah nyaris tenggelam di suatu kolam. Saat itu, sang ayah menarik tubuhnya dan menempeleng kepalanya. Awalnya ia merasa kesal. Bagaimana mungkin seorang anak yang akan tenggelam justru dihadiahi sebuah hukuman fisik? Makna positif kejadian itu baru ia dapatkan ketika dewasa. Suatu adegan di dalam film dan buku membawanya kembali mengingat peristiwa itu. Rasa sakit akibat ditampar serasa kembali terulang. Ia berpikir bahwa pada saat itu, sang ayah mungkin menempeleng untuk mengembalikan kesadarannya. Ia kemudian justru berterimakasih untuk yang telah terjadi. Ia menyimpulkan, ketika merasa disakiti orang lain, bereskan apa yang ada di dalam diri kita.

    Pertanyaan selanjutnya tentang apa parameter yang dimiliki seseorang agar mampu melihat suatu hal dari banyak sisi. Dengan sungguh-sunggguh Gobind menjelaskan bahwa pertama, ada keinginan untuk mengubah diri. Kemudian bicaralah pada diri sendiri. Netralkan, jaga emosi.

    Meski waktu perpustakaan nyaris tutup, Gobind berkeras untuk menunjukkan aksinya dengan menanyakan apa di antara audiens yang memiliki tissu. Sang pemilik tissu sekaligus dipanggil ke depan dan dipersilakan duduk menghadap audiens yang lain. Gobind memberikan catatan pada penonton agar tak bersuara dan mengatakan apapun pada sang relawan selama ia melakukan aksinya. Ia bentuk tissu ke dalam bulatan, kemudian ia genggam di salah satu tangan kanan atau kiri. Sembari berusaha mengecoh sang relawan, ia memindah-mindahkan tempat di mana gulungan tissu itu berada. Entah di genggaman tangan kanan atau kiri. Sang relawan terus saja salah menyebut tempat yang tepat. Seringkali tissu itu tak berada di kedua genggaman Gobind. Penonton tertawa, karena mengetahui bahwa gulungan tissu itu diam-diam dilemparkan Gobind ke belakang, di mana sang relawan tak mampu melihatnya. Meski sesungguhnya, makna yang ingin diambil adalah ketika masalah menghampiri, kita seringkali fokus pada hal-hal yang di luar, tanpa ingin menengok ke dalam diri sendiri. Oleh karena itu, ada baiknya kita mundur ke belakang, mencari jalan ke dalam diri dengan meditasi, kontemplasi, merenung atau berpikir. Kita jadi memiliki waktu untuk masuk ke dalam diri dan menelaah segalanya dari dalam. Bahkan Gobind menyarankan, setiap hari kita harus memiliki waktu untuk merenung dan berkumpul dengan orang-orang yang positif. Ketakutan, kegelisahan, kecemasan, dsb adalah sumbatan diri kita untuk mendapatkan kebahagiaan. Pemikiran kita terhadap masa lalu dan masa depan juga seringkali membuat kita tak bahagia di detik ini. Maka, hadirlah di detik ini untuk bahagia.
    
    Meski seringkali mengutip berbagai pemikiran dari Rumi, Gibran, bahkan kisah hidup Oprah, Gobind berbicara di depan audiens dengan gaya yang santai, bahkan seringkali kocak. Itu membuat acara menjadi cair. Pribadinya yang tenang dan menyenangkan membuat nyaman. Agak lebih dari waktu yang seharusnya, audiens antusias untuk berfoto dan book signing. Saya secara pribadi, kagum dengan apa yang mas Gobind lakukan. Datang bahkan sebelum audiens hadir, dan pulang ketika audiens sudah beranjak. Bahkan di akhir pertemuan, beberapa dari member GRI Sby masih sempat menyaksikan Gobind dan mbak Tika mengajak si kecil Rigpa menari-nari kecil. Kehangatan sang pembicara mungkin juga akan membawa pengertian-pengertian baru pada audiens ketika pulang. Tentang pemikiran baru, tentang pemaknaan baru terhadap kebahagiaan. Bisa jadi seperti yang Gobind Vashdev, sang heartworker katakan :    
        
       
    Kebahagiaan bergantung pada bagaimana kita memaknai kehidupan. 


Surabaya, 6 April 2014
Untuk Goodreads Indonesia,


Nabila Budayana 

Laporan Pandangan Mata : #Klub Buku 2 "Impian di Tepi Bakaro"

Klub Buku GRI #2
Klub buku GRI 2014 kali ini terasa lebih spesial karena hadir tiga pembicara sekaligus dan dilaksanakan dalam atmosfer ASEAN Literary Festival (www.aseanliteraryfestival.com yang bertempat di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Minggu, 23 Maret 2014 lalu menjadi minggu sastra yang sangat menyenangkan. Windy Ariestanty seorang penulis handal ditemani Rica Ishak (@RicaIshak) design activist dari komunitas Buku Untuk Papua (@bukuntukpapua)serta David Pasaribu (@davearga) yang merupakan pengagas terbitnya buku Impian di Tepi Bakaro hadir membagi cerita tentang Papua, Manokwari khususnya. Perbincangan hangat yang dikawal oleh Harun Harahap diawali dengan perbincangan mengenai Komunitas Suka Membaca (KSM) Manokwari. David menjelaskan bahwa KSM Manokwari terbentuk secara resmi pada tanggal 20 April 2013. “Awalnya ingin mencari teman yang sehobi, tentunya hobi membaca” papar David ketika ditanya soal latar belakang dalam menggagas lahirnya KSM Manokwari. Komunitas Suka Membaca merupakan sebuah wadah para pecinta buku yang hobi membaca sekaligus jembatan saling berbagi buku bacaan. Melalui KSM Manokwari ini, anak-anak Papua diajak untuk menulis sebuah cerita keseharian mereka yang terangkum dalam buku Impian di Tepi Bakaro. Ada tiga belas cerita terpilih yang terjilid dalam satu buku ini. Isinya, cerita kesederhanaan hidup yang dibalut kentalnya budaya khas Papua.
“Seperti pulang kampung, flashback ketika aku pernah tinggal dan besar di sana” cerita Rica ketika ditanya soal kesan yang paling melekat setelah membaca Impian di Tepi Bakaro. Rica juga menjelaskan bahwa apa yang diceritakan dalam Impian di Tepi Bakaro memang benar-benar seperti yang dia alami dulu ketika tinggal di Papua. “Aku seperti ada di sana” lanjutnya. Berbeda dengan Rica, Windy Ariestanty sangat terkesan dengan kekhasan berbahasa yang tetap dipertahankan dan warna mob yang sangat kental. “Kekhasan dari bahasa cakap Papua buat saya adalah ketika mereka menyingkat kata saya menjadi sa, kata tidak ada menjadi trada dan lain-lain. Buku ini, walupun dalam bentuk cerpen tetapi ketika kita membacanya, kita seolah-olah diceritakan langsung oleh penulisnya di hadapan kita sampai-sampai kita tertawa terbahak-bahak” jelas Windy. Gaya cerita dalam buku Impian di Tepi Bakaro ini juga dapat memberikan gambaran kehidupan sebenarnya di sana kepada orang-orang yang belum pernah ke Papua atau mengingatkan kenangan pada orang-orang yang pernah ke sana. Perbincangan semakin seru ketika Rica Ishak diminta membacakan salah satu dialog dalam cerpen Impian di Tepi Bakaro lengkap dengan dialek khas Papua, yakni intonasinya yang sangat unik.

Hujan yang turun di tengah-tengah diskusi tidak mengurangi kehangatan suasana yang tercipta bahkan semakin hangat karena audiens lebih mendekat dengan narasumber. Pembahasan tak hanya berkisar mengenai buku Impian di Tepi Bakaro namun juga mengenai geliat dunia literasi di tanah Papua. Rica, yang memang tinggal dan besar di Papua menuturkan bahwa edukasi sastra hanya terbatas melalui pendidikan formal. Belum ada kegiatan khusus yang bergerak di bidang literasi, orang-orang Papua lebih senang pada dunia olahraga, tari, menyanyi. David Pasaribu mengatakan hal senada dengan Rica. Lalu Windy bercerita pengalamannya berinteraksi langsung dengan orang-orang Papua. Windy Ariestanty ini sebenarnya pernah mengajar di Tanah Papua, khususnya di Raja Ampat daerah Misool dan Kofiau. Kedua daerah ini memberikan pelajaran penting bagi Windy. Di sana dia tak hanya mengajar tetapi belajar bahkan lebih banyak belajar, “Saya akan mengurangi kata mengajar karena pada dasarnya memang kita di sana belajar. Ada satu mindset yang keliru pada orang-orang yang datang ke Papua, yakni bahwa saya punya lebih, memberi, mengajar. Padahal, orang-orang Papua adalah orang-orang luar biasa, mereka punya banyak kelebihan dan mereka tidak perlu lagi diberi. Ada satu pelajaran yang sangat berharga dari salah seorang teman yang kebetulan menjadi volunteer sebagai Pastour, bahwa betapa menyenangkannya, orang-orang yang datang ke Papua dengan tidak beranggapan saya punya lebih dan untuk memberi, tetapi saya akan datang ke sana dan melihat mereka punya apa dan saya akan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka” tutur Windy yang disambut dengan riuh tepuk tangan audiens. Windy juga bercerita hambatan dalam berinteraksi dengan orang-orang Papua seperti ketika di Kofiau, suatu daerah di mana penduduknya yang memiliki kebiasaan melaut dan tidak biasa dengan orang asing yang tiba-tiba berjalan di area perumahannya. Salah seorang teman volunteer Windy menyarankannya untuk menjadi teman mereka dan mengerti apa keinginan mereka. Tantangannya tak sampai disitu, Windy juga mengalami kendala dalam bahasa yang memaksanya untuk memutar otak agar mereka mau menulis. “Orang-orang di Timur Indonesia mampu berbicara dengan tatanan bahasa Indonesia yang sangat bagus. Ngomongnya berlagu, berima dengan SPOK yang sempurna. Kosakata yang mereka gunakan juga sama hanya logat atau dialek dan bahasa khasnya yang disingkat-singkat yang terdengar agak berbeda di telinga kita. Tetapi itu sebuah kekhasan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh mereka.” ujarnya. Metode belajar-mengajar yang digunakan juga terbilang sulit, karena sasarannya tak hanya anak-anak namun kepala suku pun ikut dalam kegiatan ini. Windy melakukan hal-hal yang menyenangkan seperti mengajak berkeliling desa sambil melihat apa saja yang ada di sekitar lalu membebaskan mereka untuk memilih kata-kata yang paling disukai untuk dibuat di dalam sebuah kalimat. “Apapun yang menyenangkan mereka kita lakukan. Di sana tidak lagi berbicara soal teori bagaimana menulis yang bagus, yang terpenting adalah mereka mau membuat tulisan.” Tegas Windy.

Perbincangan semakin seru ketika membahas lebih dalam mengenai masalah perkembangan dunia literasi di Tanah Papua. David Pasaribu menjelaskan jika di Papua untuk kegiatan kesusateraan masih sangat jarang, masih terbatas dalam pendidikan formal, belum membudaya. Bahkan buku-buku dalam bentuk fisik masih sulit ditemukan meskipun sudah terbantu dengan teknologi seperti internet. Rica menambahkan bahwa fasilitas, transportasi dan SDM yang mumpuni dalam bidang literasi masih sangat kurang. Padahal kemampuan bahasa lisan orang-orang Papua sangat luar biasa, “Hebatnya orang Papua adalah mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar sampai daerah-daerah pelosok di pedalaman.” tuturnya. Windy Ariestanty juga membenarkan bahwa masalah transportasi yang berbanding lurus dengan jarak adalah salah satu faktor utama dalam terhambatnya perkembangan literasi di Tanah Papua. “Ini persoalan klasik. Hal klasik yang akan selalu terjadi pada negara kepulauan. Bahkan waktu saya mengikuti sebuah pelatihan internasional untuk copyright yang ketika itu tutor saya adalah seorang editor asal Inggris belum bisa memberi solusi untuk permasalahan distribusi pada negara kita yang berbentuk kepulauan. Internet, waktu itu diajukan sebagai solusi tapi lagi-lagi sulit untuk menyamaratakan kualitas teknologi di sebuah negara kepualauan yang sangat besar apalagi Papua yang berada di Timur Indonesia. Untuk listrik saja, mereka masih menggunakan generator yang dinyalakan sesuai dengan jadwalnya. Ini pekerjaan rumah buat kita. PR ini tidak mungkin tidak ada solusi jika orang-orang yang terlibat dalam industrinya memberikan kesempatan dan memikirkan hal ini dengan serius” ungkapnya.

Dunia literasi yang berkembang di Tanah Papua ini memang disebabkan oleh banyak faktor. Jarak, yang menjadi faktor utama lalu akses untuk memperoleh bacaan juga masih sangat terbatas mengingat kemajuan teknologi di negara kepulauan yang sangat luas ini masih timpang di sana-sini bahkan hanya ada satu toko buku di Jayapura dan masalah kepenerbitan juga tak kalah penting. Para penerbit buku jarang yang memahami permintaan buku-buku berkualitas yang dibutuhkan masyarakat dalam negara kepulauan. Seperti kita ketahui, negara kepulauan sudah pasti ditumbuhi budaya-budaya yang khas tiap daerah. Sudah pasti masyarakatnya memiliki kebutuhan yang berbeda di tiap daerah meskipun itu bahan bacaan. Windy Ariestanty yang sudah merasakan asam garam dunia penerbitan buku membagi ilmu yang sangat bermanfaat bagi kita, sebagai orang awam hanya tahu buku terbit lalu membacanya. Ada proses panjang yan terlibat dalam penerbitan sebuah buku. “Terkadang kita berpikir bahwa menerbitkan buku harus skala nasional. Ini merupakan mindset yang keliru buat saya. Ketika kita berbicara lokalitas, mari berpikir pada skala lokalnya. Mari bicara pada skala Papua, daya serap teman-teman Papua berapa? Lalu kita sanggup menyediakan berapa? Jangan paksakan selera nasional ke Papua. Buat mereka mau membaca. Tetapi, sekarang persoalannya, berapa banyak penerbit yang mau terlibat ketika kita bicara hal-hal tertentu saja? Penuhi dulu kebutuhan lokalnya. Berangkatlah dari hal-hal sederhana, hal-hal kecil” jelas Windy.
Diskusi berlanjut mengenai sejauh mana komunitas yang bergerak di bidang literasi di Papua. “Belum ada sama sekali” kata Rica Ishak ketika ditanya soal keberadaan komunitas menulis-membaca di Papua. Terbatasnya fasilitas yang mengakibatkan terbatas pula buku-buku fisikyang dibutuhkan membuat orang-orang Papua lebih senang pada bidang olahraga, seni tari ataupun menyanyi. Kurangnya sumber daya manusia juga menjadi faktor kurang berkembangnya dunia literasi di Tanah Papua. “Kalau untuk sastra sendiri belum ada selain dari pendidikan sekolah. Itu pun selama aku bersekolah, guruku bukan orang yang benar-benar memahami sastra. Hanya mengajar sebatas teori. Jadi, dari segi SDM-nya belum ada.” tutur Rica. Permasalahan ini sedikit-banyak sudah mulai teratasi dengan hadirnya Komunitas Buku Untuk Papua yang menyalurkan donasi buku-buku ke seluruh wilayah Papua. Rica Ishak yang merupakan bagian dari Buku Untuk Papua ini mengajak seluruh masyarakat untuk berdonasi dalam bentuk buku. “Sekarang kita dapat berkontribusi untuk perkembangan dunia literasi di Papua melalui donasi buku. Buku-buku ini melalui Buku Untuk Papua akan disebarluaskan ke seluruh penjuru Papua”.
“Yang paling penting buat saya sekarang ini adalah berkomunitas. Melalui komunitas, mereka mendapat akses. Semua bisa bergerak sendiri, tetapi ketika bersatu akan menjadi kekutan yang lebih besar. Seperti Bang David yang menggagas Komunitas Suka Membaca yang diawali mencari teman sehobi. Mencari teman ini sebenarnya akan menjadi spirit bersama. Kita punya isu yang sama, isu ini yang akan menjadi gerakan yang besar” jawab Windy ketika ditanya satu hal yang paling penting yang bisa dilakukan teman-teman Papua dalam menggerakkan di bidang literasi. Sementara David Pasaribu mengajak seluruh audiens yang hadir untuk membantu berkembangnya Komunitas Suka Membaca dengan membeli, membaca dan menyebarluaskan buku Impian di Tepi Bakaro. Redanya hujan juga mengakhiri diskusi buku Impian di Tepi Bakaro.

Foto-foto kegiatan dapat dilihat www.bacaituseru.flickr.com